Bagikan:

JAKARTA - DPR RI memutuskan membatalkan revisi UU (RUU) Pilkada yang tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Kecepatan respons DPR terhadap kontroversi RUU Pilkada dianggap sebagai langkah dewan yang memprioritaskan aspirasi rakyat.

“Kita tidak bisa menutup mata, respons cepat DPR terhadap isu penolakan RUU Pilkada kemarin itu menunjukkan DPR dengarkan suara rakyat,” kata pengamat komunikasi politik, Silvanus Alvin dalam keterangannya dikutip Senin 26 Agustus.

Meski RUU Pilkada sempat diinisiasi oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR, fakta banyak anggota dewan tak menghadiri rapat paripurna yang rencananya untuk pengesahan RUU Pilkada itu juga dinilai Alvin menunjukkan bahwa sebenarnya mayoritas anggota dewan memberikan penolakan.

“Gagalnya mencapai kuorum dalam sidang paripurna Kamis lalu, ditambah dengan semakin banyaknya suara yang menolak, jelas menunjukkan bahwa banyak anggota DPR menyadari kontroversialnya perubahan yang diusulkan tersebut,” tuturnya.

Seperti diketahui, masyarakat ramai-ramai menentang rencana Baleg DPR yang merevisi UU Pilkada karena dianggap bertentangan dengan konstitusi. Pasalnya Baleg tidak mengakomodir putusan MK yang sifatnya final dan mengikat.

Adapun putusan MK mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. MK memutuskan bahwa ambang batas pencalonan kepala daerah (threshold) tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD.

Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa ambang batas pencalonan kepala daerah oleh partai politik disamakan dengan ambang batas pencalonan kepala daerah dari jalur independen/nonpartai/perseorangan. Artinya setiap partai politik dapat mengajukan calon sehingga Pilkada dapat memunculkan banyak variasi calon kepala daerah. Putusan MK juga dinilai menutup peluang munculnya fenomena kotak kosong dalam pilkada.

Selain itu, MK menegaskan bahwa syarat usia calon kepala daerah dihitung sejak penetapan yang bersangkutan sebagai calon kepala daerah oleh KPU, bukan saat pelantikan seperti putusan Mahkamah Agung (MA). Meski begitu, Baleg sempat memutuskan tak mengakomodir putusan MK terkait threshold dan memilih menggunakan putusan MA daripada MK yang lebih tinggi tentang syarat usia calon kepala daerah lewat revisi UU Pilkada.

Revisi UU Pilkada rencananya akan disahkan dalam rapat paripurna pada Kamis 22 Agustus, namun batal karena rapat paripurna tidak memenuhi kuorum sehingga tidak bisa digelar. Banyak anggota DPR yang memilih tak hadir dalam Rapat Paripurna itu.

“Banyaknya anggota dewan yang tidak hadir dalam rapat paripurna pengesahan RUU Pilkada itu merupakan wujud sikap mereka untuk menegakkan demokrasi di Indonesia,” ujar Alvin.

“Penolakan ini harus dipandang sebagai sinyal kuat bahwa setiap tindakan legislatif harus memprioritaskan kebutuhan dan hak rakyat di atas kepentingan elite politik,” sambung Dosen Komunikasi itu.

Setelah Rapat Paripurna batal digelar, DPR memutuskan untuk tidak jadi merevisi UU Pilkada. Hal ini lantaran adanya banyak penolakan dari masyarakat. Buntut rencana Baleg, berbagai elemen masyarakat termasuk mahasiswa dan kalangan akademisi hingga selebritas turun ke jalan menggelar aksi demo.

Alvin pun menyoroti sebenarnya ada cukup banyak anggota DPR yang menyuarakan penolakan terhadap rencana RUU Pilkada. Oleh sebab itulah, DPR memutuskan membatalkan pengesahan perubahan UU Pilkada sebagai respons atas penolakan publik.

“Apresiasi kepada anggota DPR yang telah menunjukkan keberanian luar biasa dengan menolak revisi yang diajukan oleh Baleg yang banyak dianggap tidak mencerminkan kehendak rakyat yang sebenarnya,” kata Alvin.

“Anggota-anggota ini telah menunjukkan komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi dengan menolak upaya yang tampaknya lebih menguntungkan kepentingan elite tertentu daripada kepentingan rakyat luas,” lanjut Doktor Media and Public Relations dari University of Leicester, Inggris itu.

Sejumlah anggota DPR diketahui turun saat aksi demo akhir pekan lalu untuk mendengar aspirasi masyarakat. Tak hanya itu, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad juga sampai menyambangi Polda Metro Jaya untuk meminta agar Polisi membebaskan massa demo yang ditangkap.

“Mereka betul-betul mendengar harapan rakyat dan membela elemen masyarakat yang turun ke jalan seperti mahasiswa untuk menyuarakan aspirasi. DPR memastikan Negara menjamin kebebasan berpendapat yang menjadi bagian dari demokrasi,” sebut Alvin.

Penulis buku ‘Digitalisasi Politik: Refleksi dan Dinamika Komunikasi’ itu juga mengapresiasi pesan Ketua DPR Puan Maharani yang menegaskan bahwa DPR menjalankan kedaulatan rakyat secara demokratis. Alvin pun memuji Puan yang berterima kasih atas aspirasi seluruh elemen masyarakat terhadap dinamika yang terjadi terkait putusan MK soal UU Pilkada.

“Dalam dinamika politik saat ini, para anggota dewan juga perlu mendengar arahan dari ketua DPR Puan Maharani, yang tegas menyatakan agar para anggota untuk patuh pada Putusan MK,” tambah Dosen milenial itu.

Di sisi lain, Alvin menilai komitmen DPR mengakomodir aspirasi masyarakat terlihat dengan segeranya Komisi II DPR menggelar rapat dengan KPU untuk merevisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 tahun 2024 tentang pencalonan kepala daerah Pilkada 2024. Komisi II DPR menyetujui revisi PKPU 8/2024 yang sejalan dengan putusan MK.

“Hal positif sebetulnya sudah ditunjukkan oleh Komisi II DPR dengan mengesahkan PKPU yang sesuai dengan Putusan MK. Mereka mengikuti dan sejalan dengan suara rakyat,” ucap Alvin.

Alvin berharap, anggota dewan tak hanya mengakomodir aspirasi rakyat ketika ada isu besar yang memantik aksi.

“Melainkan harus sudah menjadi habit untuk terus mengambil sikap serta keputusan yang sejalan dengan apa yang diinginkan oleh rakyat,” tambahnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad memastikan pengesahan revisi UU Pilkada dibatalkan. Dasco menyebut putusan MK lah yang berlaku untuk pendaftaran Pilkada pada 27 Agustus 2024 mendatang.

“Bahwa pada hari ini tanggal 22 Agustus, hari Kamis pada jam 10.00 setelah kemudian mengalami penundaan selama 30 menit, maka tadi sudah diketok bahwa revisi Undang-Undang Pilkada tidak dapat dilaksanakan. Artinya pada hari ini revisi Undang-Undang Pilkada batal dilaksanakan,” jelas Dasco, Kamis 22 Agustus.

“Dengan tidak jadinya disahkan revisi UU Pilkada pada tanggal 22 Agustus hari ini, maka yang berlaku pada saat pendaftaran pada tanggal 27 Agustus adalah hasil keputusan JR MK,” tandasnya.