JAKARTA - Komisi III DPR mengecam berbagai aksi anarkis yang dilakukan aparat keamanan ke pendemo dalam aksi masyarakat yang menolak revisi UU (RUU) Pilkada. DPR juga menyoroti dugaan permintaan uang tebusan dan doxing yang dilakukan oknum aparat ke peserta aksi demo.
Berdasarkan informasi, ada 300 lebih peserta aksi yang ditangkap dalam demo tolak revisi UU Pilkada di depan Gedung DPR, Jakarta, pada Kamis 22 Agustus. Saat ini, para pendemo yang telah ditangkap itu mulai dibebaskan setelah dijamin pimpinan DPR.
"Anak muda pejuang demokrasi Indonesia ini harusnya didukung dan dilindungi, bukan malah ditangkap. Kami meminta pihak keamanan untuk segera melepaskan para demonstran yang belum dibebaskan. Bukan hanya yang di Jakarta, tapi di daerah-daerah juga,” ujar Anggota Komisi III DPR Gilang Dhielafararez, Sabtu 24 Agustus.
Gilang menekankan Indonesia merupakan negara demokrasi di mana aksi unjuk rasa dilindungi oleh konstitusi. Sehingga aparat keamanan seharusnya tidak melakukan penangkapan kepada demonstran yang tidak melakukan provokasi.
"Demonstrasi adalah hak yang dijamin oleh konstitusi. Penting bagi aparat untuk menghormati hak ini selama demonstrasi berlangsung damai dan tidak melanggar hukum," kata Gilang.
"Penangkapan harus dilakukan sesuai prosedur hukum dan hak asasi manusia harus tetap dijaga," sambungnya.
BACA JUGA:
Menurut Gilang, jika memang ada yang melakukan provokasi harus didalami sesuai aturan yang berlaku dan jangan asal main tangkap. Aparat keamanan seharusnya dapat melakukan pendekatan yang lebih humanis.
"Penggunaan kekerasan yang berlebihan dapat memperburuk situasi dan menciptakan ketidakpercayaan antara masyarakat dan aparat. Seharusnya aparat lebih humanis saat di lapangan agar lebih efektif dalam meredakan ketegangan," terang Gilang.
Legislator asal Jawa Tengah II ini juga mengecam berbagai tindakan kekerasan aparat kepada pendemo yang videonya banyak tersebar di masyarakat dan media sosial. Gilang mengatakan banyak menemukan laporan adanya dugaan pelanggaran aparat dalam bentuk intimidasi, penganiayaan, dan kekerasan kepada pendemo hingga jurnalis yang meliput aksi.
“Demonstrasi itu bentuk publik dalam menyampaikan pendapat di negara demokrasi ini. Institusi keamanan harus mengusut anggotanya yang diduga melakukan kekerasan kepada para pendemo, jurnalis, maupun elemen masyarakat lain saat demo kemarin,” paparnya.
“Aparat keamanan harusnya melindungi dan mengayomi masyarakat, kalau ada gesekan jangan asal main pukul, tendang, atau menembakan gas air mata. Apalagi demo kali ini benar-benar murni karena kemarahan rakyat,” sambung Gilang.
Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) dalam konferensi pers di Gedung YLBHI mengatakan penanganan aparat keamanan pada aksi demonstrasi elemen masyarakat dan mahasiswa menolak revisi UU Pilkada di DPR dinilai brutal. Sehingga banyak pedemo yang mengalami luka-luka akibat penanganan yang dilakukan aparat.
Sejumlah aksi brutal diantaranya pemukulan dengan tongkat oleh aparat, hingga penembakan gas air mata secara brutal dan tidak terukur. Akibatnya masyarakat sipil yang tidak ikut demo pun terdampak. Kekerasan aparat juga terjadi di sejumlah daerah yang turut menggelar aksi demo.
Bahkan ada beberapa pendemo yang mengalami cedera serius, seperti mahasiswa Universitas Bale Bandung (Unibba) yang harus menjalani operasi mata karena diduga terkena lemparan batu dari arah aparat saat kericuhan terjadi saat demo di depan gedung DPRD Jawa Barat di Kota Bandung.
Gilang pun mendukung upaya pimpinan DPR yang akan membentuk tim khusus untuk memantau korban luka akibat bentrokan dalam unjuk rasa itu.
"Aparat keamanan harus bertindak profesional dan proporsional dalam menangani demonstrasi. Komisi III DPR mengecam tindakan kekerasan oleh oknum aparat saat demo RUU Pilkada, yang juga banyak merugikan masyarakat umum. Jajaran keamanan harus bertanggung jawab,” tegasnya.
BACA JUGA:
Lebih lanjut, Gilang menyoroti dugaan pemerasan oleh oknum aparat yang meminta tebusan uang untuk pembebasan pendemo yang ditangkap. IPW juga melaporkan para pendemo dibatasi untuk mendapat pendampingan hukum.
"Permintaan uang untuk pembebasan pendemo yang ditangkap itu sudah masuk kategori pemerasan. Yang benar saja dong, masak aksi membela demokrasi kaya gini kok masih juga dijadikan bahan obyekan. Kalau sampai ini benar terbukti, harus ada evaluasi," kata Gilang.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI mengungkapkan ada salah satu masa aksi demontrasi yang ditangkap dan ditahan dikabarkan diminta uang tebusan sebesar Rp. 3 juta jika ingin dibebaskan. Gilang menyayangkan dugaan pemerasan tersebut dan menuntut adanya klarifikasi dari pihak keamanan.
"Kalau itu benar terjadi sih sangat menyedihkan. Oknum aparat penegak hukum masih saja cari celah untuk mendapatkan keuntungan di situasi negara seperti ini. Tindak tegas pelakunya kalau memang terbukti melakuan pemerasan,” tutur Wakil Ketua BKSAP DPR itu.
Selain isu kekerasan aparat kepada pengunjuk rasa, beredar pula kabar adanya dugaan doxing dari akun media sosial oknum aparat. Doxing berupa ancaman menculik mahasiswa yang berdemo di depan gedung DPR.
Akun tersebut mengunggah foto berupa tangkapan layar Instagram Story yang memperlihatkan seorang pendemo mahasiswa dengan keterangan tulisan bernada ancaman. Akun itu juga menyebar identitas dari mahasiswa pendemo.
"Itu sudah masuk doxing atau penyebaran informasi pribadi orang lain di media sosial tanpa sepengetahuan orang yang bersangkutan. Tidak dibenarkan dan kami meminta kepolisian segera melakukan investigasi internal untuk identifikasi anggota yang dimaksud," terang Gilang.
Gilang menganggap hal tersebut tidak sesuai dengan etika dan profesionalitas pekerjaan. Menurutnya kasus ancaman penculikan dan doxing terhadap mahasiswa yang berdemonstrasi di Gedung DPR sangat mengkhawatirkan.
“Tindakan seperti ini tidak hanya melanggar hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat, tetapi juga menciptakan
iklim ketakutan yang dapat menghambat partisipasi publik dalam proses demokrasi,” ucapnya.
"Tindakan doxing, terutama jika dilakukan oleh anggota keamanan, adalah pelanggaran serius yang harus ditangani dengan tegas dan transparan. Jika terbukti bersalah, oknum yang terlibat harus dikenakan sanksi disiplin yang sesuai, termasuk kemungkinan pemecatan," imbuh Gilang.
Anggota Komisi III DPR yang membidangi urusan keamanan, hukum, dan HAM itu menjelaskan bahwa dampak dari doxing ini dapat membawa trauma bagi korban dan keluarga. Untuk itu Gilang meminta kepada pihak yang bertanggung jawab untuk meningkatkan pendidikan dan pelatihan bagi anggotanya tentang etika profesional dan hak asasi manusia agar tidak terjadi doxing di kemudian hari.
"Korban doxing harus diberikan perlindungan dan dukungan, termasuk bantuan hukum dan psikologis. Ini membantu mereka pulih dari trauma dan melanjutkan aktivitas mereka tanpa rasa takut," katanya.
“Dan pastikan tidak ada boleh ada pembiaran terhadap aksi doxing yang dilakukan aparat keamanan kepada masyarakat karena ini juga merupakan bentuk arogansi aparat,” pungkas Gilang.