Bagikan:

JAKARTA - DPR RI menyoroti maraknya kasus anak-anak di bawah umur yang melakukan cuci darah akibat kelebihan mengonsumsi makanan dan minuman tidak sehat. Komisi IX DPR pun mendorong Pemerintah segera mengeluarkan aturan teknis terkait makanan sehat setelah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 2024 terbit.

"Melihat kondisi Indonesia di mana anak-anak dan remaja kerap mengalami penyakit yang kronis hingga mengakibatkan cuci darah, ini menandakan kondisi yang sudah sangat mengkhawatirkan," ujar Anggota Komisi IX Rahmad Handoyo, Rabu 7 Agustus.

Menurut Rahmad, penyakit yang dialami anak-anak maupun remaja belakangan ini diakibatkan oleh gaya hidup yang tidak sehat seperti mengkonsumsi makanan dan minumunan yang tidak terjamin kesehatan dan keamanannya.

"Anak-anak sekarang memiliki gaya hidup yang kurang sehat, banyak mengkonsumi makanan dan minuman kemasan tinggi gula, garam dan berlemak. Maka memang sudah seharusnya aturan soal makanan sehat dibuat," terang Legislator dari dapil Jawa Tengah V itu.

Rahmad menjelaskan, peraturan yang saat ini berlaku adalah UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan turunannya pada PP Nomor 28 tahun 2024 tentang kesehatan yang baru saja dikeluarkan Pemerintah. Sejalan dengan hal tersebut, Komisi IX DPR pun telah membentuk Panitia Kerja (Panja) Pengawasan Produk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji dengan Kandungan Gula, Garam, dan Lemak (GGL).

Kasus peredaran pangan berbahaya bermerek 'Hot Spicy Latiru dan Latiao Strips yang diduga berasal dari China serta mengakibatkan belasan siswa SDN Cidadap I, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jabar, pusing, mual dan muntah, memperkuat tujuan dibentuknya Panja GGL yang saat ini sedang berjalan.

"Panja dibentuk untuk mendorong pembatasan GGL melalui aturan guna melindungi masyarakat dari penyakit tidak menular. Ini semua demi kepentingan masyarakat agar tidak mengkonsumsi makanan dan minuman tidak sehat berlebihan," tegas Rahmad.

Selain dengan membuat aturan dan kebijakan, Komisi IX DPR menilai penting juga dilakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk mengenal mana saja makanan dan minuman yang tidak layak dikonsumsi. Rahmad juga meminta agar Pemerintah lebih ketat dalam pengawasan dan regulasi tentang produk apa saja yang dapat beredar di pasaran.

"Kalau melihat dari kota yang terkena itu kan bukan wilayah perbatasan maka ada regulasi yang keliru di sini. Perlu diperketat lagi pengawasannya," ungkapnya.

Salah satu poin penting dalam PP No. 28/202 adalah kewajiban Pemerintah daerah untuk mengatur pedagang yang berjualan di lingkungan sekolah, termasuk menu yang mereka tawarkan. Aturan ini disebut bertujuan untuk memastikan anak-anak mendapatkan makanan yang sehat dan mencegah kasus diabetes pada anak.

Meski maksudnya baik, Rahmad mengingatkan agar aturan yang dibuat jangan sampai salah sasaran dari tujuan utama.

"Sebenernya tujuannya baik ya membuat peraturan turunan tapi jangan sampai salah sasaran dengan merugikan UMKM. Kalau kita amati pedagang yang berjualan di lingkungan sekolah itu kan pedagang kecil yang mereka juga mencari nafkah. Jangan sampai karena aturan tersebut mata pencaharianya jadi terganggu," paparnya.

Lebih lanjut, Rahmad meminta Pemerintah segera menerbitkan aturan teknis yang merupakan turunan dari PP 28/2024 lewat Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), khususnya untuk makanan/minuman kemasan agar BPOM lebih hati-hati dalam meloloskan produk kemasan.

"Anak-anak cenderung menyukai produk-produk kemasan perusahaan besar, snack seperti cikin, permen, dll. Nah kalau hanya produk UMKM saja yang disasar saya rasa upaya Pemerintah untuk menekan kasus diabetes pada anak tidak akan efektif," tuturnya.

“Jangan hanya pedagang UMKM yang disorot, tapi perhatikan perusahaan makanan dan minuman yang produknya mengandung takaran saji tidak sehat tapi bebas beredar asal memiliki izin BPOM,” sambungnya.

Saat ini aturan teknis soal produk makanan sehat sedang dalam pengkajian. Kebijakan itu di antaranya tentang kemungkinan penerapan cukai pada produk cepat saji, aturan ukuran gizi yang terkandung dalam makanan/minuman kemasan, pelabelan khusus terhadap makanan/minuman yang memiliki kandungan GGL tinggi, dan sebagainya.

Rahmad berharap agar kajian tersebut dapat segera rampung sehingga aturan teknisnya dapat cepat diterapkan. Menurutnya, memastikan anak-anak mengonsumsi makanan yang sehat adalah tugas bersama seluruh elemen.

"Ini bukan hanya tugas Pemerintah, DPR, pedagang sekolah atau pelaku usaha makanan rumahan saja. Tapi harus diingat, aturan ini juga tentang tanggung jawab kelompok industri yang menguasai pasar makanan/minuman kemasan atau cepat saja,” urai Rahmad.

Komisi IX DPR juga mendukung aturan dalam PP 28/2024 soal makanan siap saji yang akan dikenakan cukai dengan tujuan mengendalikan konsumsi gula, garam dan lemak (GGL) untuk mengurangi penyakit tidak menular. Rahmad menyebut aturan tersebut dapat mengefektifkan perubahan pola makan masyarakat.

“Aturan ini bagus karena di Inggris, Filipina, Meksiko dan Afrika Selatan sudah digunakan aturan ini dan terbukti masyarakat mampu mengubah perilaku konsumsi makan minuman yang lebih sehat,” terangnya.

Meski begitu, Rahmad menilai aturan soal pemungutan cukai ini tak serta merta dapat dilakukan bagi pelaku usaha mikro seperti pedagang makanan keliling. Menurutnya, diperlukan pendekatan dua sisi jika menyangkut pedagang kecil.

“Kalau untuk pedagang kali lima, bukan ramahnya BPOM. Pendekatan aturan tidak cukup. Tetap harus promosi dan preventif melalui kampanye dan edukasi tentang hidup sehat. Kandungan GGL dalam makanan dan minuman yang dijual diingatkan agar tidak berlebih,” ucap Rahmad.

Lewat aturan yang sama, Pemerintah Daerah juga berkewajiban melakukan pengawasan terhadap produk makanan/minuman pedagang-pedagang kecil. Rahmad meminta Pemda mengoptimalisasikannya melalui edukasi dan sosialisasi.

“Semua pihak. Ya pemerintah dari pusat, pemerintah daerah, juga masyarakat itu sendiri. Memang butuh proses untuk mengubah perilaku hidup sehat tapi harus dimulai lewat aturan dan gerakan kampanye ke masyarakat,” katanya.

“Diawali lewat aturan pengendalian makanan yang mengandung gula, garam dan lemak. Tapi masyarakat juga penting diajak berpartisipasi. Dengan begitu kita bisa mencapai tujuan kesehatan yang lebih baik untuk generasi mendatang," pungkas Rahmad.