Bagikan:

JAKARTA - Bangladesh  akan melarang partai Islam utama dan sayap mahasiswanya, yang disebut pemerintah bertanggung jawab atas kekerasan bulan ini yang menewaskan 150 orang selama protes yang dipimpin mahasiswa terkait kuota pekerjaan.

Keputusan yang dikecam sebagai “inkonstitusional dan ilegal” oleh partai Jamaat-e-Islami, terjadi setelah Perdana Menteri Sheikh Hasina menyalahkan partai tersebut dan oposisi utama Partai Nasionalis Bangladesh (BNP) atas kekerasan yang memaksanya memberlakukan jam malam.

Larangan tersebut akan disahkan melalui perintah eksekutif pada Rabu, 31 Juli, kata Anisul Huq, Menteri Hukum, Kehakiman dan Urusan Parlemen, kepada Reuters.

“Demi negara, keputusan telah dibuat,” imbuh Huq.

Partai Jamaat mengecam keputusan aliansi penguasa yang dipimpin Liga Awami sebagai keputusan yang “ilegal, di luar proses hukum dan inkonstitusional”.

“Dengan menggunakan mesin negara, mereka saling menyalahkan Jamaat dan partai oposisi lainnya,” kata Shafiqur Rahman, ketua partai tersebut, yang bersama oposisi, membantah pernyataan pemerintah soal mereka memicu kekerasan.

Partai Jamaat sebenarnya dilarang mengikuti pemilu berdasarkan keputusan pengadilan tahun 2013 yang menyatakan pendaftarannya sebagai partai politik bertentangan dengan konstitusi sekuler negara Asia Selatan.

Bangladesh sebelumnya memutus akses internet dan mengirim tentara untuk memberlakukan jam malam nasional ketika demonstrasi meluas.

Ribuan orang terluka ketika pasukan keamanan menembakkan peluru karet, gas air mata, dan melemparkan granat suara untuk membubarkan puluhan ribu pengunjuk rasa yang membanjiri jalan-jalan.

Kekerasan tersebut merupakan ujian terbesar yang dihadapi Hasina, 76 tahun, sejak memenangkan masa jabatan keempat berturut-turut pada bulan Januari yang diboikot oleh BNP dan juga dirusak oleh protes mematikan.

Dia pertama kali memimpin partainya meraih kemenangan dalam pemilu pada tahun 1996, menjalani satu masa jabatan lima tahun sebelum mendapatkan kembali kekuasaan pada tahun 2009, dan tidak pernah kalah lagi.

Kelompok hak asasi manusia dan kritikus mengatakan Hasina menjadi semakin otokratis selama 15 tahun terakhir kekuasaannya, ditandai dengan penangkapan lawan politik dan aktivis, penghilangan paksa dan pembunuhan di luar proses hukum, tuduhan yang dibantahnya.