JAKARTA - Pasukan Dukungan Cepat paramiliter Sudan (RSF) dilaporkan melakukan tindakan kekerasan seksual yang meluas di ibu kota Khartoum, termasuk pemerkosaan berkelompok dan kawin paksa.
Laporan Human Rights Watch memaparkan militer RSF yang menahan perempuan dan anak perempuan dalam kondisi yang dapat dianggap sebagai perbudakan seksual, dan menyerang mereka di depan keluarga mereka.
Reuters telah meminta komentar dari RSF dan tentara. Kedua belah pihak sebelumnya membantah bertanggung jawab atas pelanggaran selama perang.
RSF menyatakan akan mengambil tindakan pencegahan terhadap pelanggaran hak asasi manusia.
Laporan HRW mengutip seorang perempuan yang tinggal di daerah yang dikendalikan oleh RSF yang mengatakan selama berbulan-bulan dia tidur dengan pisau di bawah bantalnya untuk membela diri.
Sedangkan seorang bidan mengatakan ketakutan terus menerus akan penggerebekan RSF.
“Mereka tidak melakukan penggerebekan hanya untuk menjarah, mereka menargetkan rumah tertentu karena ada perempuan di sana, mereka masuk dan menanyakan perempuan dan anak perempuan di rumah tersebut,” kata bidan tersebut dikutip Reuters dari laporan HRW, Senin, 29 Juli.
Banyak penyintas yang berupaya mengakhiri kehamilan akibat pemerkosaan menghadapi hambatan dalam melakukan hal tersebut, kata laporan itu.
Laki-laki dan anak laki-laki juga telah mengalami pelecehan seksual.
BACA JUGA:
RSF telah menguasai sebagian besar Khartoum dan kota-kota kembarnya Bahri dan Omdurman sejak awal perang, yang dimulai ketika kedua belah pihak berebut untuk melindungi kekuasaan mereka di bawah transisi politik yang direncanakan menyusul penggulingan otokrat lama Omar al-Bashir di 2019.
Konflik tersebut telah memicu pembunuhan bermotif etnis di wilayah barat Darfur, di mana RSF dan milisi sekutunya dituduh memimpin kampanye serangan termasuk kekerasan seksual terhadap kelompok etnis Masalit.
Hala al-Karib, kepala Inisiatif Strategis untuk Perempuan di Tanduk Afrika (SIHA), mengatakan dalam konferensi pers peluncuran laporan tersebut, perempuan Masalit serta perempuan dari pegunungan Nuba juga menjadi sasaran di sekitar Khartoum dan Omdurman.
“Setiap gerakan kecil yang dilakukan seorang perempuan menjadikannya sasaran langsung. Para relawan perempuan di ruang tanggap darurat mengalami penahanan,” kata Nidal Ahmed, relawan tanggap darurat di Khartoum.
“Mereka telah diperkosa,” katanya.
Laporan kasus kekerasan seksual meningkat setelah tentara mengambil alih Omdurman pada awal tahun 2024, kata HRW.