Bagikan:

JAKARTA - Penembakan dan serangan udara menghantam sebagian ibu kota Sudan pada Hari Minggu, dengan sedikit tanda bahwa faksi militer yang bertikai siap untuk mundur dalam konflik yang telah berlangsung selama sebulan dan menewaskan ratusan orang, meskipun pembicaraan upaya gencatan senjata di Arab Saudi.

Khartoum dan kota-kota yang bersebelahan di Bahri dan Omdurman di seberang dua cabang Sungai Nil, telah menjadi medan konflik utama bersama dengan Provinsi Darfur barat, sejak tentara dan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) mulai bertempur pada 15 April.

Penembakan menghantam Bahri dan serangan udara menghantam Omdurman pada Minggu pagi, menurut seorang reporter dan saksi.

"Ada serangan udara berat di dekat kami di Saliha yang mengguncang pintu rumah," kata Salma Yassin, seorang guru di Omdurman, seperti melansir Reuters 15 Mei.

Sementara, seorang penduduk di dekat bandara Khartoum, yang telah ditutup sejak awal konflik, mengatakan telah terjadi pertempuran sepanjang hari.

Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan pada Hari Minggu, kerusuhan itu telah menewaskan sedikitnya 676 orang dan melukai 5.576 orang, saat banyak laporan orang hilang dan mayat tidak terkubur, jumlah korban sebenarnya diperkirakan jauh lebih tinggi.

Sekitar 200.000 orang telah melarikan diri ke negara-negara tetangga, sedangkan lebih dari 700.000 telah mengungsi di dalam Sudan, memicu krisis kemanusiaan yang mengancam untuk menarik kekuatan luar dan mengguncang kawasan tersebut.

Konflik juga menyelimuti perekonomian. Pada Hari Minggu, panglima militer Jenderal Abdel Fattah al-Burhan mengeluarkan dekret yang membekukan rekening bank RSF dan perusahaan afiliasinya, serta mengganti gubernur bank sentral.

Mereka yang tetap tinggal di Khartoum telah berjuang untuk bertahan hidup karena layanan kesehatan runtuh, pasokan listrik dan air terputus dan stok makanan menyusut.

Pada Sabtu malam, pria bersenjata RSF yang mencari uang menyerang sebuah gereja di Omdurman, melukai lima orang termasuk seorang pendeta, kata seorang aktivis Kristen Koptik. Tentara juga menyalahkan RSF atas serangan itu.

Namun, pihak RSF mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa kelompok "ekstremis" yang berafiliasi dengan tentara bertanggung jawab.

Kepala unit pemerintah untuk memerangi kekerasan seksual mengatakan telah menerima lima laporan pemerkosaan terkait dengan konflik, sementara Front Sipil untuk Menghentikan Perang, sebuah kelompok kampanye Sudan, mengatakan telah mencatat laporan kekerasan seksual lainnya yang belum diverifikasi.

Terpisah, pertempuran dilaporkan meningkat di Geneina, ibu kota Darfur Barat. Jumlah orang yang tewas di sana pada Jumat dan Sabtu mencapai lebih dari 100 orang, termasuk imam masjid tua kota itu, kata Asosiasi Pengacara Darfur dalam sebuah pernyataan.

Kelompok hak asasi lokal menyalahkan pembunuhan, penjarahan dan pembakaran di Geneina, di mana ratusan orang tewas dalam kekerasan bulan lalu, atas serangan kelompok bersenjata yang mengendarai sepeda motor dan RSF. Terkait ini, RSF juga membantah bertanggung jawab atas kerusuhan tersebut.

Diketahui, Kepala Angkatan Darat Burhan dan pemimpin RSF Mohamed Hamdan Dagalo, yang dikenal sebagai Hemedti, telah berbagi kekuasaan setelah kudeta tahun 2021, menyusul pemberontakan tahun 2019 yang menggulingkan otokrat veteran Omar al-Bashir.

Tapi mereka berselisih tentang syarat dan waktu transisi yang direncanakan ke pemerintahan sipil, tidak ada orang yang menunjukkan siap untuk konsesi, dengan tentara mengendalikan kekuatan udara, sedangkan RSF berpengaruh jauh ke dalam distrik kota.

Kesepakatan gencatan senjata telah berulang kali dilanggar, tetapi Amerika Serikat dan Arab Saudi menengahi pembicaraan di Jeddah yang bertujuan untuk mengamankan gencatan senjata yang langgeng.

"Kamu tidak tahu sampai kapan perang ini akan berlanjut... Rumah menjadi tidak aman dan kami tidak punya cukup uang untuk keluar dari Khartoum. Mengapa kami membayar harga perang Burhan dan Hemedti?" ujar Yassin.

Pada Hari Kamis, kedua belah pihak menyetujui "deklarasi prinsip" untuk melindungi warga sipil dan mengamankan akses kemanusiaan.