Bagikan:

JAKARTA - Gubernur Darfur Barat di Sudan Khamis Abdallah Abkar dibunuh tak lama setelah ia menyalahkan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) atas kekerasan di negara itu.

Video yang dibagikan secara daring menunjukkan sekelompok pria bersenjata menangkap Abkar. Cuplikan lain menunjukkan gubernur itu terbaring di tanah dengan luka pada bagian leher dan muka.

Kematian Abkar terjadi beberapa saat setelah ia dalam sebuah wawancara menyalahkan RSF atas gelombang pembunuhan dan penjarahan di Geneina, ibu kota Darfur Barat.

Dalam sebuah pernyataan, tentara Sudan menuduh RSF menculik dan membunuh sang gubernur.

"Perilaku mengerikan ini menambah babak baru terhadap kejahatan biadab yang mereka (RSF) lakukan terhadap warga Sudan yang mengalami kejahatan yang tidak pernah terjadi dalam sejarah negara ini," kata pihak militer Sudan sebagaimana dilansir ANTARA dari Anadolu, Kamis, 15 Juni.

Tentara Sudan mengatakan gubernur yang terbunuh itu tidak ada hubungannya dengan konflik saat ini antara militer Sudan dengan RSF.

Sejauh ini belum ada pernyataan dari kelompok paramiliter terkait tuduhan tersebut.

Kelompok Gerakan Keadilan dan Kesetaraan mengutuk pembunuhan gubernur itu sebagai "perkembangan serius."

Pembunuhan itu menjadi "perpanjangan dari pelanggaran mengerikan yang dilakukan di kota Geneina,” kata kelompok gerakan itu dalam pernyataan.

Gerakan Tentara Pembebasan Sudan juga mengecam pembunuhan tersebut sebagai "kejahatan hina yang tidak mencerminkan nilai dan moral masyarakat Sudan" dan menyerukan penyelidikan atas kematian gubernur Darfur Barat itu.

Ratusan orang tewas dan terluka di Geneina di tengah gelombang penjarahan dalam beberapa pekan terakhir.

PBB pada Rabu mengatakan serangan yang meningkat di Darfur bisa menjadi "kejahatan terhadap kemanusiaan".

Sudan telah porak poranda akibat pertempuran antara tentara dengan RSF sejak pertengahan April. Hampir 1.000 warga sipil tewas dan ribuan lainnya terluka dalam kekerasan itu, menurut petugas medis setempat.

Lebih dari 2,2 juta orang mengungsi akibat konflik yang terjadi saat in di Sudan, menurut keterangan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) pada Rabu.

Dalam beberapa bulan terakhir, ketidaksepakatan terjadi antara angkatan bersenjata Sudan dan RSF atas rencana integrasi RSF ke dalam angkatan bersenjata, yang merupakan sebuah syarat kesepakatan transisi Sudan dengan kelompok-kelompok politik.

Sudan berjalan tanpa pemerintahan yang berfungsi sejak Oktober 2021 saat militer membubarkan pemerintahan transisi Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan menyatakan keadaan darurat, yakni sebuah langkah yang dikecam oleh kekuatan politik sebagai "kudeta".

Masa transisi pemerintahan di Sudan, yang dimulai pada Agustus 2019 setelah penggulingan Presiden Omal al-Bashir, dijadwalkan berakhir dengan pemilihan umum awal 2024.