JAKARTA – Keputusan Pemerintah untuk mulai mendistribusikan vaksin COVID-19 dengan jenis AstraZeneca mendapat perhatian dari epidemiolog Universitas Airlangga, Atoillah Isfandi.
Menurut dia, silang pendapat yang terjadi di masyarakat terkait dengan tingkat kehalalan produk vaksin tersebut harus didasarkan pada tiga pertimbangan sesuai dengan Alquran dan Hadist.
“Yakni, terkait dengan kandungan bahan, proses pembuatan vaksin, dan manfaat dari vaksin itu sendiri. Jadi hukum haram tidak hanya dipandang dari kandungan bendanya, tetapi juga pada proses maupun kegunaan,” ujarnya dalam keterangan resmi seperti yang dikutip VOI, Minggu, 21 Maret.
Atoillah menambahkan, proses observasi sisi kehalalan juga perlu memperhatikan lima kaidah yang menjadi pertimbangan dalam menentukan halal dan haramnya suatu vaksin.
Kaidah pertama adalah 'Yakin', yang berarti jika ini masih tahap percobaan seperti clinical trial fase-1, dan setelah itu langsung dikomersilkan atau dipakai, maka itu melanggar aturan dan bisa dinyatakan haram, meskipun mempergunakan kandungan yang suci.
“Kemudian yang kedua adalah 'Niat', artinya sebagus apapun bendanya namun ditujukan untuk kemudharatan (keburukan) pasti haram,” tegas dia.
Lalu, ketiga ialah kaidah 'Masyaqqat' yang bermakna jangan sampai dalam proses vaksinasi nanti menimbulkan penyakit yang lain. Apabila efek samping yang ditimbulkan dari vaksinasi ini cukup besar, maka vaksin itu menjadi haram.
Selanjutnya kaidah 'Adh dhararu' yang bermakna kedaruratan. Dijelaskan oleh Atoillah bahwa kaidah keempat ini merupakan pengecualian dalam kondisi darurat, atau hal-hal yang menyebabkan haram itu kemudian dapat gugur.
“Jadi misalnya meski ada unsur babi, namun karena hal ini darurat, maka itu menjadi halal. Hingga nanti menemukan vaksin yang tidak menggunakan tripsin dari babi, maka vaksin yang ada hari ini tetap halal,” jelasnya.
Skenario lain yang dia terangkan adalah saat telah ditemukan vaksin dengan tripsin dari sapi atau status pandemi COVID-19 ini berubah menjadi endemi saja, barulah dapat dikatakan kedaruratan dari permasalahan ini sudah lewat.
“Maka ketika vaksinasi COVID-19 ini menjadi elektif, disitulah kemudian masyarakat bisa memilih vaksin yang benar-benar halal. Pernyataan bahwa vaksin COVID-19 AstraZeneca ini haram tetapi boleh digunakan dari MUI menurut saya berasal sudut pandang ini,” paparnya.
Kelima adalah kaidah 'Al Urf' yang bisa dikatakan terkait dengan kearifan lokal. Atoillah menyebut bahwa poin ini kurang cocok untuk diimplementasikan dalam vaksin. Dikatakan olehnya contoh dari Al Urf seperti acara selamatan yang biasanya mengumpulkan orang dalam jumlah banyak. Aktivitas tersebut tentu saja bertolak belakang dengan semangat menjaga protokol kesehatan dengan menghindari atau tidak membuat kerumunan.
Terkhusus tripsin babi yang digunakan dalam proses pembuatan vaksin AstraZeneca, epidemiolog itu menjelaskan bahwa proses tersebut berlangsung untuk menumbuhkan senyawa antibodi pada sel inang.
BACA JUGA:
Dikatakan olehnya bahwa setelah senyawa anti body diinjeksi ke tubuh maka sudah tidak ada lagi kaitan dengan tripsin karena hanya sebagai media tanam.
“Ibarat jika kita menanam pohon, menggunakan pupuk kandang yang kandungannya termasuk najis, tetapi ketika menghasilkan buah, maka si buah tidak lantas menjadi najis juga,” kata dia.
“Saya juga sudah konfirmasi ulang ke pihak AstraZeneca, dan ternyata mereka tidak melibatkan tripsin dalam proses pemisahan. Tripsin itu hanya digunakan untuk media pembiakan. Jadi menurut saya, vaksin ini lebih aman dan halal,” tambah Atoilah.
Untuk diketahui, polemik penggunaan vaksin AstraZeneca sempat mencuat akibat laporan yang menyebut penggunaan vaksin ini meningkatkan risiko pembekuan darah atau kejadian penggumpalan darah secara keseluruhan (tromboemboli).
Guna meredam hal tersebut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan bahwa vaksin AstraZeneca tidak terkait dengan risiko tersebut. Lembaga bentukan pemerintah itu menegaskan pula jika manfaat vaksin dalam penanganan COVID-19 lebih besar daripada risiko maupun efek samping yang ditimbulkan.
Adapun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menyampaikan bahwa vaksin AstraZeneca dibolehkan untuk digunakan (mubah) mengingat manfaat yang diberikan serta dengan pertimbangan kondisi darurat yang terjadi saat ini akibat pandemi.
MUI merilis pula himbauan yang menyatakan umat Islam di Indonesia wajib mengikuti program vaksinasi pemerintah agar segera terhindar dari ancaman pandemi.