Bagikan:

JAKARTA - Komisi IX DPR RI menyoroti berbagai persoalan pelayanan kesehatan yang terjadi di sejumlah daerah. Komisi bidang kesehatan DPR itu menegaskan fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit (RS) dan Puskesmas tidak boleh menolak pasien dengan alasan apapun.

Peringatan dari Komisi IX DPR itu diberikan karena adanya sejumlah peristiwa yang menunjukkan kurang maksimalnya pelayanan kesehatan kepada masyarakat di beberapa daerah. Seperti yang terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Syekh Yusuf, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan di mana seorang pasien diduga ditelantarkan hingga meninggal.

“Prinsipnya RS dan Puskesmas tidak boleh menolak pasien apapun kondisinya,” kata Anggota Komisi IX Rahmad Handoyo, Rabu 17 Juli.

Pada kasus di Gowa itu, viral di media sosial seorang pasien disebut meninggal dalam mobil ambulans di depan Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Syekh Yusuf, Selasa (9/7). Pasien tersebut diduga ditelantarkan dan lambat mendapat penanganan hingga meninggal.

Perekam video dan beberapa keluarga pasien lainnya terdengar berseru kepada petugas IGD mempertanyakan pelayanan rumah sakit. Keluarga pasien juga mengaku dimintai biaya tambahan untuk bahan bakar ambulans sebelum pasien diangkut ke RSUD Syekh Yusuf.

Rahmad pun menjelaskan, seharusnya layanan ambulans untuk pasien dalam keadaan darurat ditanggung oleh biaya BPJS Kesehatan.

“Kalau ambilan seperti pasien darurat tetap dibiayai BPJS. Jadi kalau ada kejadian seperti itu artinya ada pelanggaran yang dilakukan oknum,” jelasnya.

“Yang harus bertanggungjawab adalah pihak rumah sakit karena ambulans adalah hak pasien dengan kondisi darurat yang pembiayaannya dipasrahkan melalui program JKN (BPJS). Bila ada pelanggaran oknum maka pihak rumah sakit harus bertanggung jawab dan melakukan investigasi,” lanjut Rahmad.

Pihak RSUD Syekh Yusuf telah membantah narasi dalam video viral yang menyebut pasien ditelantarkan atau ditolak saat datang. Menurut pihak RS, kondisi IGD RSUD Syekh Yusuf saat itu memang dalam kondisi penuh sebelum pasien tersebut dirujuk oleh Puskesmas Parangloe sehingga mereka menganjurkan agar pasien dialihkan ke rumah sakit lain.

Saat pasien tiba, petugas IGD RSUD Syekh Yusuf disebut tetap sigap mencari tempat tidur untuk pasien agar tetap segera ditangani. Namun tak lama kemudian pasien sudah dinyatakan meninggal sebelum masuk ke dalam IGD.

Terlepas apapun alasannya, Rahmad kembali menegaskan rumah sakit tidak boleh menolak apalagi menelantarkan pasien.

“Tidak boleh menolak pasien dan bila keterisian penuh, RS wajib sementara menerima dan wajib membantu mencarikan rumah sakit yang tersedia untuk pelayanannya, bukan pasien yang mencari RS sendiri,” terang Legislator dari Dapil Jawa Tengah V itu.

Rahmad mengatakan harus ada penyelidikan menyeluruh sebagai evaluasi agar peristiwa seperti itu tidak kembali terjadi. Ia juga menyebut BPJS bisa melakukan langkah lebih lanjut apabila ada pelanggaran yang dilakukan pihak rumah sakit.

“BPJS harus menertibkan. Bila terus terjadi kejadian seperti ini, maka BPJS bisa memutus kerjasama dengan rumah sakit yang dimaksud,” tutur Rahmad.

Rahmad pun menilai saat ini tengah terjadi krisis pelayanan kesehatan di Indonesia. Beberapa waktu lalu, seorang ibu di Banyuwangi, Jawa Timur, terpaksa melahirkan di dalam mobil lantaran tidak ada petugas medis saat ia datang ke Puskesmas.

Terbaru, aksi penurunan jenazah bayi laki-laki di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) oleh sopir ambulans RSUD Ade Muhammad Djoen Sintang, Kalimantan Barat (Kalbar) juga tengah menyita perhatian publik. Jenazah bayi yang meninggal itu diturunkan karena keluarga pasien tak bisa membayar biaya tambahan yang diklaim untuk membeli BBM.

Adapun jenazah yang diturunkan itu merupakan bayi meninggal saat dilahirkan. Jenazah tersebut seharusnya diantar dari RSUD Ade Muhammad Djoen Sintang ke Nanga Mau dengan jarak sejauh 72 km. Jenazah bayi diturunkan lantaran keluarga korban menolak membayar biaya tambahan yang disebut mencapai Rp 1,5 juta.

Menurut sopir, biaya tambahan itu diperlukan karena mobil ambulans yang digunakan menggunakan BBM Dexlite dengan biaya lebih mahal dari BBM biasa. Sementara di peraturan daerah, biaya yang ter-cover untuk kendaraan ambulans adalah yang menggunakan BBM Pertalite sehingga ada selisih biaya yang dibayarkan saat di rumah sakit dan kebutuhan sopir untuk membeli BBM.

Meski keluarga pasien menyebut biaya tambahan hingga Rp 1,5 juta, namun pihak rumah sakit menyebut sopir mengaku hanya meminta tambahan selisih BBM sebesar Rp 400 ribu.

“Kejadian seperti ini sungguh pukulan keras bagi pelayanan kesehatan Indonesia. Betul-betul tidak ada rasa kemanusiaan. Apapun alasannya, harusnya ada pertimbangan karena ini soal kemanusiaan. Apalagi pihak keluarga sudah menyatakan tidak punya biaya lagi,” papar Rahmad.

Ditambahkannya, perlu ada investigasi terhadap kejadian penurunan jenazah. Terutama, kata Rahmad, ada indikasi praktik pungutan liar (pungli) dalam kasus ini.

“Menurut saya pantas untuk ada pemberian sanksi dari pihak rumah sakit. Harus ada tindakan tegas oleh rumah sakit kalau model kaya gini,” ujarnya.

Rahmad juga meminta rumah sakit melakukan penelusuran dan evaluasi terhadap sopir-sopir ambulans lain. Termasuk untuk Dinas Kesehatan yang diharapkan turut mengecek sistem manajemen penggunaan ambulans di rumah sakit-rumah sakit lainnya di daerah tersebut.

“Telusuri kemungkinan pelanggaran lain baik oleh pelaku maupun sopir-sopir ambulans lainnya. Karena ada kemungkinan kejadian seperti ini sudah sering terjadi,” urai Rahmad.

“Jadi butuh diinvestigasi dan rumah sakit harus bertanggung jawab,” imbuhnya.

Di sisi lain, Rahmad mendorong kepada Pemda untuk mengevaluasi peraturan terkait pelayanan ambulans dan ketegasan dalam pengimplementasiannya. Dengan begitu, tidak akan lagi ada celah yang digunakan sebagai alasan untuk pungli.

“Peraturan dibuat untuk dijalankan. Kalau masalah penerapan BBM saja bisa jadi alasan untuk pungli, artinya hal lain juga bisa dijadikan celah. Kalau tidak ada perbaikan, masyarakat yang akan terus menerus dirugikan,” tukas Rahmad.

Rahmad meminta semua pihak untuk mengingat urgensi dari Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang dibuat untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan perlindungan bagi masyarakat.

“Dengan adanya UU Kesehatan itu, kita harapkan kualitas sistem pelayanan kesehatan masyarakat bisa semakin maju. Bukan mengalami kemunduran seperti ini,” tutupnya.