Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap sejumlah penyakit birokrasi yang kerap terjadi di wilayah Indonesia timur, khususnya Papua. Salah satunya pengangkatan aparatur sipil negara (ASN) bukan berdasarkan kemampuan tapi karena nepotisme.

Hal ini disampaikan Kepala Satgas Direktorat Koordinasi dan Supervisi (Korsup) KPK Wilayah V Dian Patria usai menggelar rapat koordinasi MCP dengan jajaran Pemerintah Daerah (Pemda) se-Papua Barat Daya dan pendampingan lapangan di Kota Sorong pada Rabu, 3 Juli dan rapat koordinasi pencegahan korupsi di Kejaksaan Republik Indonesia (Kejari) wilayah Sorong, Kamis, 4 Juli.

“Ada patologi birokrasi atau penyakit birokrasi di Papua. Dimana Aparatur Sipil Negara (ASN)-nya diangkat karena kedekatan, nepotisme kekeluargaan,” kata Dian dikutip dari keterangan tertulis, Kamis, 4 Juli.

“Itu sangat kental di wilayah Timur, bukan karena jual beli jabatan,” sambungnya.

Dian menyebut cara semacam ini sebenarnya merugikan. “Kedekatan itu berpotensi menghasilkan SDM yang tidak kompeten,” tegasnya.

Selain itu, praktik suap dan gratifikasi juga masih jadi penyakit. Dian menyebut tim gabungan Satgas Korsup Pencegahan dan Penindakan KPK menemukan ada wajib pajak yang melakukan pemberian kepada pegawai Bappenda Kota Sorong hingga Rp130 juta tiap bulan.

“Ini masuk gratifikasi tapi yang bersangkutan malah dipertahankan di Bappenda karena ada unsur kedekatan. Sehingga kalau kita lihat, postur APBD Kota Sorong itu pendapatan daerah yang berasal dari pajak, hanya masuk 5,13 persen saja. Tapi belanja pegawainya mencapai 41,23 persen.

Sementara kota-kota besar di Timur itu sudah masuk dua digit untuk persentasenya dengan belanja pegawainya di bawah 30 persen. Sehingga kami turut mendorong peningkatan pendapatan pajak daerah Kota Sorong untuk naik ke dua digit,” jelasnya.

Lebih lanjut, Dian juga menyebut masih banyak pejabat di daerah itu yang menguasai aset pemerintah daerah karena merasa berjasa secara turun temurun untuk daerah. Modusnya beragam seperti tidak melakukan pengembalian aset saat pensiun, pinjam pakai, hibah, diakui hilang, jual beli, rusak berat, dipakai di luar kota, dibawa serta pada saat mutasi atau pindah pemda hingga diubah kepemilikan atas nama pribadi.

“Temuan ini harusnya menjadi tamparan keras bagi sistem birokrasi di Papua,” ujar Dian.

"Nepotisme dan kurangnya kompetensi ASN mampu membuka celah bagi perilaku lancung yang berakibat pada kerugian keuangan negara dan menghambat pembangunan daerah,” pungkasnya.