JAKARTA - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat sedikitnya 32 kematian akibat kekurangan gizi terjadi di Jalur yang tengah dilanda perang Hamas-Israel, dengan 28 di antaranya anak-anak di bawah usia 5 tahun (balita), kata Direktur Jenderal Tedros Adhanom Ghebreyesus.
"Sudah ada 32 kematian yang disebabkan oleh kekurangan gizi, termasuk 28 di antaranya anak-anak di bawah usia 5 tahun," ungkapnya dalam keterangan pers, melansir WAFA 13 Juni
"Sebagian besar penduduk Gaza kini menghadapi kelaparan dan kondisi seperti paceklik yang parah," lanjutnya.
"Meskipun ada laporan tentang peningkatan pengiriman makanan, saat ini tidak ada bukti mereka yang paling membutuhkannya menerima makanan dalam jumlah dan kualitas yang cukup," tandasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, organisasi pimpinannya bersama dengan mitra telah berusaha meningkatkan layanan gizi.
Mengomentari perlunya gencatan senjata segera di Jalur Gaza yang dilanda perang, Ghebreyesus mencatat, WHO menyambut baik resolusi Dewan Keamanan PBB yang diadopsi pada Hari Senin, yang menyerukan gencatan senjata penuh dan segera.
"Kami mendesak semua pihak untuk mengambil langkah-langkah guna segera melaksanakan resolusi tersebut, dan mengakhiri penderitaan jutaan orang secara permanen," katanya.
"Kami mendesak semua pihak untuk segera mengambil langkah-langkah guna segera melaksanakan resolusi tersebut, dan mengakhiri penderitaan jutaan orang secara permanen," tegasnya.
Menyoroti krisis kesehatan yang meningkat di Tepi Barat yang diduduki, ia menyatakan "WHO telah mendokumentasikan 480 serangan terhadap perawatan kesehatan di Tepi Barat sejak 7 Oktober tahun lalu, yang mengakibatkan 16 kematian dan 95 cedera."
"Sementara fokus dunia tertuju pada Gaza, ada juga krisis kesehatan yang meningkat di Tepi Barat, di mana serangan terhadap perawatan kesehatan dan pembatasan pergerakan orang menghalangi akses ke layanan kesehatan," katanya.
"Sejak perang di Gaza dimulai, 508 warga Palestina telah tewas di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, termasuk 124 anak-anak. Lebih dari 5.000 orang terluka, termasuk sekitar 800 anak-anak," papar Tedros.
"Di sebagian besar wilayah Tepi Barat, klinik hanya beroperasi dua hari seminggu, dan rumah sakit beroperasi dengan kapasitas sekitar 70 persen," imbuhnya.
BACA JUGA:
Selain itu, ia juga mengidentifikasi pembangunan dan perluasan permukiman kolonial sebagai alasan utama pembatasan akses warga Palestina terhadap layanan kesehatan.
"Permukiman ilegal telah meluas di Tepi Barat yang diduduki, yang berdampak pada akses penduduk terhadap layanan kesehatan," katanya.
Ia menyimpulkan, "obat terbaik adalah perdamaian" dan mendesak "semua pihak untuk segera melaksanakan resolusi Dewan Keamanan."