Bagikan:

JAKARTA - Tanaman Bambu merupakan sumber daya alam yang keberadaanya sangat dengan dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan pengolahan yang baik, bambu bisa menjadi sumber penggerak ekonomi bagi masyarakat. 

Seperti yang dilakukan masyarakat di NTT, melalui program peningkatan kualitas lingkungan hidup yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Bambu bisa dapat memiliki nilai ekonomi dan ekologi budaya yang sangat tinggi.

“Strategi dan Rencana Aksi Nasional Bambu telah disusun KLH untuk dapat dilihat kembali, diperbaharui dan disempurnakan. Pararel, kita kembangkan hulu, tengah dan hilirnya dengan terus mendorong kegiatan penanaman sebagai kontinuitas dari industri bambu tersebut”, kata Wakil Menteri LHK, Alue Dohong dalam keterangannya, Jumat, 12 Maret. 

Dalam diskusi pojok iklim ini, Wakil Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur NTT, Josef Nae Soi, menyampaikan Kebijakan dan Program Pemerintah Provinsi NTT dalam pengembangan bambu untuk penghijauan dan kemajuan ekonomi masyarakat. Josef menjelaskan tanaman bambu berhubungan erat dengan tradisi dan ritual masyarakat, bahkan menjadi simbolis seseorang yang bekerja keras. 

Dari sudut ekologis, bambu dapat meningkatkan volume air bawah tanah, konservasi lahan dan perbaikan lingkungan. Untuk sudut ekonomis, bambu bisa dijadikan sebagai bahan bangunan, transportasi, kuliner, alat musik, alat-alat rumah tangga, dan bahkan pengobatan.

“Kebijakan Pengembangan Bambu oleh Pemerintah Provinsi NTT di antaranya

Kelompok sub Suku (Sa'o) Negu Wula Golewa, melakukan penanaman jenis pewarna alam Strobilathes cussiaNgada, NTT (dok. KLHK)

memutuskan Bambu sebagai salah satu Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Unggulan melalui Keputusan Gubernur No 404/KEP/HK/2018, menjadikan pengembangan bambu sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi NTT, menyiapkan anggaran, serta bekerjasama dengan multistakeholder”, tambah Josef. 

Peneliti Puslitbang Hasil Hutan, Badan Litbang dan Inovasi KLHK, I. M. Sulastiningsih menyampaikan bahwa saat ini pemanfaatan bambu di Indonesia masih terbatas. Sehingga diversifikasi produk pengolahan bambu perlu ditingkatkan dengan menghasilkan produk rekayasa bambu berupa bambu lamina yang dapat digunakan sebagai bahan substitusi kayu. 

“Pengembangan industri bambu lamina harus didukung oleh kebijakan pemerintah secara terpadu dalam menyediakan bahan baku secara berkesinambungan,” terang Sulastiningsih.  

Hal senada juga disampaikan, Ketua Kelompok Peneliti Etnobiologi dari Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wawan Sujarwo. Menurutnya tanaman bambu memiliki peran penting dalam Jasa Lingkungan dan Pelestarian Alam. 

Bambu merupakan salah satu jenis tumbuhan yang paling toleran terhadap habitat, mampu tumbuh dari dataran rendah hingga dataran tinggi. Potensi bambu dalam hal jasa lingkungan sangat menjanjikan, khususnya air dan karbon. 

Wawan menekankan perlunya menyatukan persepsi dari semua stakeholder (akademisi, bisnis, pemerintah, komunitas, dan bahkan media) bahwa bambu sangat potensial dalam aspek jasa maupun lingkungan.

Persamaan persepsi dapat dituangkan dalam bentuk regulasi untuk menunjang aksi nyata bahwa payment for ecosystem services harus dapat diimplementasikan di Indonesia dengan mekanisme yang tidak begitu rumit, sehingga pemilik hutan bambu baik itu masyarakat (petani, swasta) bahkan negara sekalipun dapat memperoleh bayaran dari nilai jasa lingkungan yang telah diberikan hutan bambu.