Mengais Cuan dari Limbah Medis yang Berbahaya
Ilustrasi (Desain: Raga Granada/VOI Foto: Antara)

Bagikan:

Masih bagian dari Tulisan Seri khas VOI, "Kritis Limbah Medis". Dalam artikel sebelumnya kami telah menjabarkan kesenjangan dalam proses pengolahan limbah medis infeksius. Sekarang kita lihat kondisi ini. Tentang mereka yang mencari rezeki dari limbah medis baik secara terang maupun gelap.

Beberapa jenis limbah medis ternyata bernilai ekonomi tinggi. Limbah yang berpotensi menularkan penyakit ini bisa menjadi "madu" bila dikelola dengan tepat. Namun bisa juga jadi racun jika jatuh ke tangan yang salah. 

Limbah medis berasal dari kegiatan pelayanan rumah sakit. Limbah ini berpotensi besar untuk mencemari lingkungan dan menularkan penyakit apabila tidak dilakukan proses pengolahan atau penanganan secara khusus oleh petugas. 

Namun, terkadang ada oknum petugas nakal yang mencoba menjual limbah medis secara diam-diam. Sebab tergiur dengan harga yang cukup mahal. Salah satu kasusnya diungkap oleh mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Ponorogo Nur Sahidin dalam tulisannya yang bertajuk Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli Limbah Medis di Rumah Sakit Umum Daerah Harjono Ponorogo pada 2018.

Nur mengungkap praktik penjualan limbah medis di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Harjono Ponorogo. Ia memeroleh informasi tersebut setelah mewawancarai para petugas kebersihannya.

Ia menjelaskan bagaimana prosesnya. Biasanya limbah akan diambil oleh petugas kebersihan dari tempat sampah yang kemudian dikumpulkan ke dalam kantong plastik hitam. Setelah merasa cukup banyak, limbah tersebut disimpan di belakang gudang untuk dipilah-pilah mana yang akan dijual. 

Seperti diketahui, harga botol infus bekas dihargai Rp6 ribu sampai Rp7 ribu per kilonya. Sementara selang infus, Rp20 ribu per kilonya. Dan alat suntik bekas, Rp2 hingga Rp3 ribu per kilo. 

Limbah medis plastik dihargai lebih mahal dari limbah biasa. Sebagai perbandingan, plastik kresek misalnya, di pasaran harganya berkisar Rp300 per kilo. Sedangkan plastik putih, Rp600 per kilo. Sedangkan botol plastik bekas air mineral yang sudah bersih hanya dihargai Rp2 ribu per kilonya, dan bekas ember warna putih, Rp2.500 per kilo.

Botol bekas wadah infus lebih mahal karena plastiknya berjenis polietilena dengan kepadatan rendah. Plastik jenis ini tergolong bermutu tinggi karena kuat, tidak bereaksi terhadap zat kimia lain, serta mudah dibentuk ketika panas. 

Infografik (Raga Granada/VOI)

Pasar gelap

Kasus yang sama juga pernah diungkap majalah Tempo di Pasuruan, masih satu provinsi dengan Ponorogo. Penelusuran yang digelar pada akhir 2019 mengungkap praktik jual beli limbah medis di beberapa rumah sakit di Jawa Timur. 

Misalnya saja Rumah Sakit Umum Daerah Bangil. Dalam beberapa bulan sekali pengepul sampah plastik datang untuk membeli sampah medis tersebut. Sejumlah penampung mengambil sampah medis dari rumah sakit milik Pemerintah Kabupaten Pasuruan itu. 

Salah satunya pabrik pengolahan plastik CV Alam Jaya, yang beralamat di Kecamatan Sumbersari, Jember, Jawa Timur. "Kami mengolahnya menjadi timba. Sebagian kami jual ke pabrik daur ulang plastik," kata Yuli, pemilik CV Alam Jaya kepada Tempo.

Penanggung jawab kesehatan lingkungan RSUD Bangil, Nabil, mengakui mereka menjual limbah medis tersebut. Mereka menjualnya Rp6 ribu per kilo. 

Uang itu kata Nabil masuk ke kas rumah sakit. Dalam satu bulan rata-rata RSUD Bangil menghasilkan sekitar 21 ribu kantong bekas wadah infus yang beratnya mencapai 300 kilo. 

Namun Nabil mengklaim limbah medis yang mereka jual bukan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). "Kan tidak ada darahnya," katanya. 

Ilustrasi (Li Hao/Unsplash)

Ada prosedurnya

Bila terkumpul ratusan kilo limbah medis perbulan, hasilnya memang menggiurkan. Namun juga mengandung risiko kesehatan sampai pidana. 

Sebab, kantong bekas wadah infus itu adalah limbah medis yang masuk kategori bahan berbahaya dan beracun. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengolahan Limbah Berbahaya dan Beracun menyebutkan salah satu jenis limbah B3 adalah limbah yang bisa menyebabkan infeksi atau menularkan penyakit. 

Hal itu juga dipertegas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 56 Tahun 2015 tentang Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Kantong bekas wadah infus tergolong limbah medis yang berkarakter infeksius. "Sampah hitam" ini banyak yang menghasilkan limbah bersifat toksik.

Kendati demikian Direktur Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3, KLHK, Sinta Saptarina Soemiarno menjelaskan ada beberapa limbah B3 yang boleh dijual ke perusahaan. Namun itu juga perlu melewati prosedur yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 56 tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah B3. 

Dalam pasal 38 dari beleid itu dijelaskan limbah B3 yang boleh diolah yakni kemasan bekas B3, spuit bekas, botol infus bekas selain infus darah dan atau cairan tubuh, serta bekas kemasan cairan hemodialisis. Ada pun prosedur pengolahannya yakni "pengosongan, pembersihan, disinfeksi, dan penghancuran atau pencacahan (sesuai ketentuan peraturan)," kata Sinta kepada VOI.

Pengelolaan limbah B3 tersebut kata Sinta menjadi tanggung jawab rumah sakit dan dilakukan di dalam rumah sakit. "Setelah tercacah dan tidak lagi jadi limbah B3 baru bisa dijual ke pihak luar," ujarnya. 

Salah satu pemain limbah medis yang sesuai prosedur dan legal adalah Saut Marpaung dari Asosiasi Pengusaha Daur Ulang Plastik Indonesia. Seperti dikutip Tirto, Saut menjelaskan, setelah mendapat sampah medis yang telah diolah dalam bentuk cacahan, biasanya didaur ulang kembali dengan digiling, dicuci kembali, dan dijadikan bijih plastik. Barang jadinya berupa produk-produk plastik seperti ember dan kantong kresek. 

Dalam sebulan, Asosiasi bisa membeli rata-rata 50 ton sampah medis. Namun Saut juga membenarkan terkadang harus bersaing mendapatkan limbah dari para pemain gelap. "Mereka berani membeli dengan harga dua kali lipat lebih tinggi dari kami karena tidak lewat prosedur."

Seperti diketahui, menurut data Kementerian Kesehatan per 2019, dari jumlah rumah sakit yang ada di Indonesia sebanyak 2.877, hanya 117 yang punya izin mengolah limbah B3. Artinya terdapat 2.760 rumah sakit yang tidak memiliki izin dan fasilitas pengelolaan limbah medis B3.

Ikuti Tulisan Seri Edisi Ini: Kritis Limbah Medis