Ketika Tempat Olah Limbah Tak Memadai, Inovasi Jadi Harga Mati
Ilustrasi (Foto: Antara, editing: Raga Granada/VOI)

Bagikan:

Dari hulu, kita sudah melihat kacaunya proses pengumpulan limbah medis yang berasal dari sampah rumah tangga. Masih bagian dari Tulisan Seri khas VOI, "Kritis Limbah Medis", mari kita lihat bagaimana pengolahan limbah medis di hilir. 

Jumlah limbah medis infeksius menggunung selama pandemi COVID-19. Kasus pembuangan limbah sembarangan yang belakangan kerap kita temui beritanya, tak ubahnya fenomena gunung es. Sebab, selain pengelolaan yang kacau, kapasitas pengolahan limbah yang tak memadai menjadi prahara utama dalam alur pengelolaan limbah infeksius. Perlu terobosan untuk mencari jalan keluarnya.

Kalau dulu limbah medis kebanyakan berupa bungkus obat dan alat kontrasepsi, kini "sampah hitam" lebih beragam. Limbah medis didominasi masker, face shield, sarung tangan medis, hingga hazmat bekas penanganan COVID-19. Untuk menghindari penyakit, limbah tersebut sudah seharusnya diolah sedemikain rupa. 

Namun sayangnya, jumlah limbah medis yang membludak setiap harinya tak diimbangi dengan tempat pengolahan atau pemusnahan limbah yang memadai. Meurut data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 2019 dari jumlah rumah sakit (RS) di Indonesia sebanyak 2.877 hanya 117 RS saja yang punya izin mengeloah limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). 

Belum lagi di Indonesia baru terdapat dua cara untuk mengolah limbah medis yakni dengan cara insinerasi dan autoklaf. Dari 117 RS, 111 RS menggunakan teknik insinerasi dan sisanya autoklaf. Mari kita bedah keduanya.

Pertama, insenirasi. Metode pengolahan limbah ini mengandalkan proses pembakaran sampah yang melibatkan pembakaran bahan organik. Hasil dari insenerasi adalah abu, gas sisa hasil pembakaran, partikulat, dan panas. 

Gas yang dihasilkan mengandung polutan, oleh sebab itu harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum dilepas. Sedangka hasil panas tadi bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi. Selain itu dengan insenerasi, volume sampah bisa berkurang hingga 97 persen dan bobot sampah hingga 70 persen. 

Namun insenerasi memiliki kekurangan. Penggunaan insenerator membutuhkan lahan yang luas. Kesulitan lahan juga menjadi kendala bagi Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Belum lagi jika ada penolakan dari warga sekitar yang khawatir hasil pembakarannya mempengaruhi kesehatan.

Yang kedua, metode autoklaf. Autoklaf sendiri adalah alat pemanas tertutup yang digunakan untuk mensterilisasi suatu benda menggunakan uap bersuhu dan bertekanan tinggi selama sekitar 15 menit. Autoklaf ditujukan untuk membunuh endospora, yaitu sel  resisten yang diproduksi oleh bakteri, bertahan terhadap pemanasan, kekeringan, dan antibiotik.

Untuk pengolahan sampah medis, autoklaf juga dilengkapi dengan alat pencacah. Kelemahan dari autoklaf adalah perlu penjagaan dan pengaturan panas secara manual. Penjagaan dan pengaturan tersebut harus dilakukan selama masa sterilisasi dilakukan.

Pengolahan limbah medis COVID-19 dengan insenerasi dan autoklaf telah diatur di surat edaran yang dikeluarkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya sejak Maret 2020. Sebetulnya masih ada beberapa cara lagi selain insenirasi dan autoklaf. 

Incinerator (Sumber: KLHK)

Cara lain

Misalnya saja dengan teknologi hydrothermal. Cara ini sebenarnya mirip dengan autoklaf, namun teknologi ini menggunakan tekanan uap untuk strelisisasi limbah. Hydrothermal juga memiliki tekanan yang lebih tinggi.

Selain itu bisa juga dengan menggunakan microwave. Sterilisasi pada alat ini dilakukan pada suhu 100 derahat Celcius dengan waktu 30 menit. Pengolahan limbah dengan microwave memiliki keuntungan yaitu tidak ada emisi dan aman dibuang ke tempat pembuangan selanjutnya. 

Sebuah studi yang dilakukan oleh peneliti bidang teknologi industri asal China, Yu Hao, dan rekan-rekan peneliti di Norwegia merekomendasikan penampungan sementara limbah padat dari fasilitas pelayanan kesehatan di tempat transit sebelum dibawa ke tempat akhir selama wabah berlangsung. 

Selain itu, penelitian dari Public Health England juga menyarankan agar tidak mencemari lingkungan dan mengurangi sumber penyakit, sebaiknya limbah medis ditampung selama 72 jam sebelum pengangkutan. Hal tersebut dilakukan dengan harapam virus mati saat saat dibawa ke fasilitas penanganan akhir.

Infografik (Raga Granada/VOI)

Kendala

Dengan berbagai teknologi yang dijelaskan di atas, seharusnya limbah medis atau B3 tidak akan tercemar. Namun beberapa masalah yang ada di Indonesia membuat pengolahan limbah begitu sukar. Salah satunya adalah penyediaan alat yang mana alat tersebut harus memenuhi syarat. 

"Pertama membutuhkan alat canggih yaitu insenerasi yang juga ada syaratnya, seperti harus bisa melakukan pembakaran di atas 800 derajat Celsius atau di atas 1000 derajat Celsius untuk menjalankan proses itu. Tidak semua faskes memiliki anggaran cukup untuk itu, makanya masih sedikit," kata Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Muhammad Reza Cordova kepada VOI

Pengolahan limbah medis B3 memang bukan perkara mudah. Oleh sebab itu jumlah fasilitas pengolahan limbah medis pun juga masih sulit. Pun jasa pengelolaan medis jumlahnya juga masih terbatas. Selain itu, jasa pengelola yang ada harus memenuhi standar dan aturan yang berlaku.  

Sebetulnya jika Indonesia dapat mengelola limbah medis dengan baik, Indonesia mampu menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi dari pengolahan limbah tersebut. Contohnya jika menggunakan insenerator, panas hasil pembakaran bisa digunakan menjadi sumber energi. Mencontoh negara lain seperti Swedia atau Finlandia contohnya, yang memanfaatkan olahan limbah menjadi energi terbarukan untuk listrik dan air. 

Autoclave (Sumber: Wikimedia Commons)

Masalah global

Indonesia bukan satu-satunya negara yan menghadapi permasalahan limbah medis. Pada laporan Maret 2020, lebih dari 20 kota di seluruh China daratan telah dibanjiri limbah medis, dengan Wuhan, pusat wabah COVID-19, menghasilkan hingga enam kali lebih banyak limbah medis dari biasanya.

Mengutip SCMP, fasilitas pengolahan limbah medis di 28 kota di China telah mengalami beban. Rumah sakit di Wuhan bahkan menghasilkan lebih dari 240 ton limbah medis setiap hari selama puncak wabah, dibandingkan dengan 40 ton sebelum COVID-19 terjadi, kata Zhao Qunying, kepala kantor darurat kementerian.

Selain itu, India juga menghadapi permasalahan yang sama. Berdasarkan data yang dibagikan oleh Dewan Pengendalian Pencemaran Pusat dan dewan pengawas pencemaran negara bagian Delhi, Haryana, Uttar Pradesh (UP) dan Rajasthan, Delhi memiliki harian tertinggi limbah biomedis.

“Tentu saja, rumah sakit adalah penghasil utama karena meningkatnya kasus COVID-19, tetapi ada juga banyak kasus positif COVID-19 yang telah dikarantina di rumah," ujar pakar pengelolaan sampah asal Delhi, Swati Singh Sambyal.

Pemerintah telah mengantisipasi adanya limbah tersebut dengan mewajibkan masyarakat menyerahkan limbah COVID-19 di kantong berwarna kuning yang nantinya dikumpulkan dan diolah sesuai pedoman. Namun sebagian besar rumah tangga mencampurkan limbah medis dengan sampah lain. Jadi, bukan hanya limbah COVID-19 tapi juga sampah rumah tangga ada pada kantong kuning khusus itu. Sampah rumah tangga terbawa ke tempat pengolahan limbah bio medis. Para ahli percaya bahwa tidak adanya pemilahan sampah di sumbernya karena kurangnya kesadaran. 

Sementara di Inggris layanan pengolahan limbah terganggu saat kuncitara. Mengutip Science Magazine, hal tersebut menyebabkan peningkatan kesalahan pengelolaan limbah sebesar 300 persen di beberapa komunitas. Dengan lebih sedikit pilihan yang tersedia, praktik pengelolaan limbah tradisional seperti tempat pembuangan dan pembakaran sampah menggantikan tindakan yang lebih berkelanjutan seperti daur ulang, yang memiliki efek merugikan pada lingkungan. 

Badan Lingkungan Inggris Raya lalu mengizinkan penyimpanan sementara limbah dan abu pembakaran di lokasi yang belum diberi izin. Kuncitara yang meluas juga menyebabkan peningkatan substansial limbah domestik di Inggris Raya.

Ikuti Tulisan Seri Edisi Ini: Kritis Limbah Medis