Selamat bergabung kembali dalam Tulisan Seri khas VOI. Hingga Jumat mendatang, kita akan mendalami berbagai persoalan mengenai mobil listrik. Indonesia sudah gembar-gembor. Bagaimana persiapannya? Ini dia artikel perdana dari "Sengat Pesona Mobil Listrik".
Pemerintah kembali menggulirkan wacana soal program mobil listrik nasional. Agar tak jatuh ke lubang yang sama, pemerintah wajib belajar dari kegagalan program mobil listrik di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kebijakan komprehensif dan konsisten diperlukan agar ambisi ini tak lagi amblas.
Program mobil listrik sudah pernah dicanangkan SBY pada 2014. Namun akibat inkonsistensi kebijakan pemerintah, rencana itu tak terwujud sampai sekarang. Jajaran dari pembantu SBY yang paling getol mendorong gagasan mobil listrik adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan.
Segala upaya ia kerahkan demi kelancaran programnya, termasuk menarik ilmuwan Indonesia yang bekerja di luar negeri. Putera Petir, begitu Dahlan menyebut tim yang punya misi membuat mobil listrik karya anak bangsa. Mereka terdiri dari Ricky Elson, orang yang telah menjadi tenaga ahli di Jepang, Dasep Ahmadi, dan Danet Suryatama.
Saking berambisinya, Dahlan rela merogoh kocek pribadi untuk mendukung proyek mobil listrik. Misalnya saja saat mereka mengembangkan mobil listrik jenis sport mirip Ferrari bernama Tucuxi. Dahlan rela mengeluarkan dana Rp3 miliar. Sayang, sampai jabatan Dahlan selesai, proyek mobil listriknya mandek. Ia dan beberapa rekannya bahkan malah tersandung korupsi.
Mengapa bisa gagal?
Di beberapa kesempatan, Dahlan menceritakan mengapa proyek yang berpotensi mendompleng nasionalisme itu amblas di tengah jalan. Inti persoalan yang Dahlan alami tak lain birokrasi perizinan dan regulasi pemerintah.
Seperti dirangkum dari Detik, Dahlan menjelaskan bagaimana ruwetnya proses birokrasi perihal uji coba di Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Ia menceritakan saat mobil listrik merek Selo dan Gedhis bikinan Ricky Elson akan diuji coba, banyak perizinan yang mesti diurus, sementara prosesnya berbelit-belit.
Regulasi yang mengatur pun tak jelas. Kondisi ini sangat menghambat proses pengembangan mobil listrik nasional untuk siap produksi massal.
Selain itu, diperlukan kerja lintas sektoral, seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Riset dan Teknologi, hingga Kementerian ESDM. Tapi faktanya hal itu sulit terwujud.
Dahlan tak mendapat cukup dukungan dari rekan-rekannya di pemerintahan meski Presiden SBY sudah memberi mandat. Misalnya saja Kemenhub yang tak menerbitkan sertifikat kelaikan untuk Selo dan Gendhis.
"Mobil listrik sulit sekali, peraturannya pun belum ada. Padahal itu kesempatan kita marathon dengan negara lain karena sama-sama start," kata Dahlan.
Berujung bui
Para pengembang mobil listrik nasional di bawah Dahlan juga tersandung kasus korupsi. Dasep Ahmadi salah seorang anggota Putera Petir, yang bukannya tampil memamerkan hasil karya, malah menjalani hari-hari di balik jeruji besi.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp17 miliar kepada Dasep. Ia terbukti memperkaya diri sendiri dan menyebabkan kerugian negara lebih dari Rp28 miliar.
Latar belakang Dasep adalah pengusaha yang mencoba memproduksi mobil listrik buatan dalam negeri. Proyek ini diharapkan membangkitkan kembali proyek mobil nasional yang telah lama mati suri.
Salah satu hasil karya Dasep yang pernah dikenalkan ke publik adalah Evina atau Electric Vehicle Indonesia. Mobil bermuatan lima orang yang dibekali motor listrik 20 kWh dengan asupan tenaga baterai lithium-ion ini merupakan produk ciptaan PT SAP di bawah komando Dasep.
Kasus mobil listrik yang menjerat Dasep berawal dari permintaan Kementerian BUMN kepada perusahaan BUMN untuk menjadi sponsor pengadaan 16 mobil listrik pada April 2013. Mobil ini dibuat untuk mendukung kegiatan operasional Konferensi Asia-Pasific Economic Cooperation (APEC) di Bali pada Oktober 2013.
Tiga BUMN yang berpartisipasi, antara lain, PT BRI, PT PGN, dan PT Pertamina. Gabungan ketiganya mengucurkan dana kurang lebih Rp32 miliar untuk proyek tersebut. Namun mobil yang dipesan kemudian tidak dapat digunakan karena tidak sesuai perjanjian.
Mobil listrik yang dirakit PT SAP, asuhan Dasep yang bermerek Ahmadi Type MPV Listrik dinyatakan tak laik jalan. Alasannya, beberapa bagian tidak berfungsi.
Menurut penyidikan Kejaksaan Agung, ada beberapa komponen mobil listrik tersebut yang tak sesuai peraturan pemerintah. Misalnya saja kendali rem utama sebesar 620 Newton yang melebihi batas maksimum 500 Newton.
Lalu soal hasil uji kincup roda depan yang dinilai melebihi standar. Dan Kejaksaan menilai mobil listrik buatan Dasep bukan baru, melainkan hasil modifikasi mobil Toyota Alphard yang berbahan bakar premium lalu diubah menjadi bahan bakar listrik.
"Kita melakukan yang terbaik, kalau masih ada kekurangan ya itu wajar. Tapi, kalau ini disebut perbuatan kejahatan, saya tidak terima," ujar Dasep di Pengadilan Tipikor 2016 lalu seperti dikutip Kompas.
Separuh bangkit
Setelah lima tahun mati suri, proyek mobil listrik kembali bergulir. Pada 8 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. Beleid ini secara resmi membuka kesempatan produsen lokal untuk merancang dan membangun industri mobil listrik dalam negeri.
Perpres ini terdiri dari 37 pasal yang tak cuma mengatur soal produksi kendaraan tersebut, tetapi juga tentang kepemilikan perorangan atas kendaraan yang bergerak dengan energi listrik. Diharapkan, regulasi ini dapat mendorong industri otomotif dalam negeri bergerak ke arah lebih ramah lingkungan.
Pemerintah Presiden Joko Widodo dan para menterinya harus belajar dari kesalahan itu. Apalagi, saat ini, sebagaimana dirangkum Majalah Tempo, sudah ada kepastian investasi dari LG Energy Solutipon Ltd, Korea Selatan. Pada awal Januari, anak konglomerasi LG Group itu berkomitmen menanamkan modal 9,8 miliar dolar AS atau sekitar Rp142 triliun untuk membangun pusat produksi baterai litium terintegrasi di Indonesia.
Industri mobil listrik ini memang tengah naik daun. Berbagai pabrik otomotif dunia gencar meluncurkan produk mobil listrik. Di Indonesia, tahun ini Toyota berencana menyusul Hyundai, yang sejak 2019 memulai pembangunan fasilitas produksi senilai lebih dari Rp20 triliun di Cikarang, Jawa Barat.
Terbaru, pemerintah bilang sedang menunggu kedatangan delegasi Tesla Inc, produsen mobil listrik Amerika Serikat (AS) yang diklaim berniat menjajaki investasi serupa. Sejak Presiden Jokowi meluncurkan program percepatan mobil listrik pada Agustus 2019, berbagai kebijakan mulai disiapkan. Targetnya, produksi kendaraan rendah emisi karbon (LCEV) bisa mencapai 20 persen dari proyeksi produksi 2 juta unit roda empat pada 2025.
Pertanyaannya, apakah pemerintah sudah menambal regulasi-regulasi yang bolong di era SBY?
Sayangnya, menurut pengamat transportasi, Tory Damantoro, bila objektifnya adalah memproduksi mobil listrik asli dalam negeri, maka mimpi itu masih terlampau jauh. Ia bahkan mempertanyakan strategi percepatan pengembangan mobil listrik secara utuh. Sebab menurutnya Perpres 55 2019 ini kembali lagi ke peta jalan (roadmap) Kementerian Perindustrian.
"Karena kalau perindustrian dia tidak ada perubahan terhadap pengembangan EV (electrical vehicle atau kendaraan listrik), yang mereka pakai roadmap yang sudah ada. Di mana agendanya tidak langsung lompat ke EV yang baterai, tapi ke hybrid dulu," ujarnya kepada VOI.
Merujuk Perpres 55 2019 pasal 4 ayat 1, disebutkan pengembangan industri kendaraan bermotor listrik (KBL) berbasis baterai dalam negeri sebagaimana dibahas dalam forum Tim Koordinasi percepatan program KBL Berbasis Baterai, mengacu pada peta jalan pengembangan industri kendaraan bermotor nasional.
"Peta jalan pengembangan industri kendaraan bermotor nasional sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian," tertulis.
Oleh karena itu, Tory mengatakan pengembangan mobil listrik ini tergantung kepada agenda roadmap perindustrian Indonesia. "Kan sudah ketahuan itu agendanya siapa. Agenda yang punya pabrik."
Tak menambal masalah
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Tory Damantoro menilai Perpres 55 2019 ini tidak menambal masalah regulasi dan birokrasi yang membuat proyek mobil listrik Dahlan Iskan amblas. Menurut Tory, rencana yang digulirkan pemerintahan sekarang ini berbeda dengan yang dilakukan Dahlan.
Kata Tory, apa yang dilakukan Dahlan Iskan yakni upaya mendukung pengembangan dan riset (R&D) teknologi baru. Kalau arah ke sana itu artinya mobil listrik nasional baru bisa disebut buatan anak bangsa.
Namun, menurut Tory karena tak diregulasi secara jelas, proyek itu jadi dituduh kriminal. Baik dari segi pendanaan dan penggunaannya semuanya bermasalah.
"Apakah, isu-isu itu sudah dijawab di Perpres 55? Kan tidak. Perpres tersebut hanya memberikan dasar hukum untuk semua pihak yang terlibat mendukung percepatan pengembangan EV," kata Tory.
Kendati demikian Tory menyambut positif dengan adanya Perpres 55 2019 ini. Sebab menurutnya dengan adanya beleid ini banyak mobil listrik yang sudah bisa dipesan malaupun pabrikannya dari luar.
"Saya bahagia dengan adanya Perpress 55 ini, mulai banyak tipe2 kendaraan EV yang sudah bisa OTR, walaupun itu semua pabrikan luar. Enggak ada pabrikan dalam negeri," kata Tory.
Ikuti Tulisan Seri Edisi Ini: Sengat Pesona Mobil Listrik