Bagian pamungkas dari Tulisan Seri Khas VOI, "Sengat Pesona Mobil Listrik" berusaha menggambarkan dinamika perubahan dunia yang bakal terdisrupsi industri kendaraan listrik dan mampukah Indonesia mengikutinya.
Transformasi industri otomotif dari kendaraan berbahan bakar minyak ke listrik adalah keniscayaan. Negara-negara di dunia tengah berlomba-lomba memasuki era baru ini termasuk Indonesia yang berpotensi menjadi raja baterai mobil listrik dengan modal kandungan nikel terbesar di dunia. Pertanyaannya, seberapa siap negara kita menghadapi perubahan zaman ini?
Sebelum kita menengok jauh ke depan menyambut era kendaraan listrik, kita perlu tahu apa yang nantinya kira-kira akan ditinggalkan. Sebab selalu ada yang dikorbankan dari setiap perubahan zaman.
Cepat atau lambat, sedikit atau banyak, industri mobil listrik akan memengaruhi industri minyak dunia. Bagaimana tidak, porsi industri transportasi menyumbang sekitar setengah dari seluruh permintaan minyak dunia.
Bukan cuma itu, keterbatasan pasokan bahan bakar minyak (BBM) serta lonjakan harga yang menyertainya membuat banyak pihak mulai membatasi pengunaan BBM. Selain itu, dorongan potensial untuk menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim juga memberi efek pada penurunan permintaan minyak.
Hal ini berdampak pada negara-negara yang mengandalakan pendapatan dari penjualan minyak. Mereka memikirkan kembali strategi dan harus berpikir dua kali untuk menunda produksi atau mengembangkan ide cadangan jika tidak dapat memonetisasi minyak dalam jangka panjang.
Arab Saudi misalnya, negara ini sempat mengumumkan bahwa mereka menggelontorkan dana negara sebesar 2 triliun dolar AS, untuk mempersiapkan diri menghadapi zaman ketika minyak tidak lagi mendominasi ekonomi global. Negara-negara tersebut akan menghadapi persyaratan mendesak untuk mereformasi ekonominya.
Masa transisi
Peralihan dari mobil berbahan bakar minyak ke mobil listrik tidaklah mudah. Dunia sudah bertahun-tahun lamanya mengenal mobil lazimnya berbahan bakar minyak. Oleh sebab itu, banyak negara yang memberikan peraturan secara bertahap untuk mengakhiri produksi mobil berbahan bakar fosil seraya beralih ke mobil listrik.
Norwegia misalnya, seperti dikutip Road Traffic Technology, negara itu menjadi salah satu yang mengusulkan agar penjualan mobil berbahan bakar bensin dan diesel dilarang. Di Amerika Serikat, produsen mobil General Motors juga berjanji untuk berhenti membuat mobil penumpang, van, dan kendaraan sport bertenaga bensin pada 2035.
Hal tersebut menandai titik balik bersejarah bagi pembuat mobil Amerika yang ikonik itu dan menjanjikan masa depan kendaraan listrik baru bagi pengendara di Amerika. Sementara mereka akan menginvestasikan 27 miliar dolar AS untuk kendaraan listrik dan produk terkait antara 2020 dan 2025, melebihi pengeluarannya untuk kendaraan bensin dan diesel konvensional.
Beralih ke Inggris, negara ini juga telah mengambil kebijakan serupa dengan melarang penjualan mobil dan van berbahan bakar bensin dan diesel mulai 2030, lima tahun lebih awal dari yang direncanakan sebelumnya. Rencana itu sebagai bagian dari apa yang disebut Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson sebagai "revolusi hijau" untuk mengurangi emisi menjadi nol bersih pada 2050.
Lalu, bagaimana di Indonesia?
Seperti yang diketahui, Indonesia kembali getol mengejar ambisi untuk menjadi pemain utama di industri mobil listrik. Bermodal cadangan nikel terbanyak di dunia, Indonesia akan mengambil peran sebagai juragan baterai mobil listrik. Pertanyaannya, seberapa siap negara ini memanifestasikan ambisinya?
Menyingsing era baru
Indonesia memang punya bekal besar untuk menguasai produksi komponen vital mobil listrik yakni baterai. Berdasarkan pemetaan Badan Geologi, yang dikutip laman Kementerian ESDM, Indonesia punya sumber daya bijih nikel sebesar 11.887 juta ton. Sedangkan untuk total sumber daya logam di Indonesia mencapai 174 juta ton dan 68 juta ton cadangan logam.
Langkah awal Indonesia untuk mengejawantahkan visinya dimulai dari membuat Perpres 55 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Beleid ini dianggap menjadi tonggak awal untuk mulai membangun industri kendaraan listrik dalam negeri.
Dari segi infrastruktur, Kementerian ESDM menyebut bahwa saat ini telah terbangun 101 stasiun pengisian listrik umum (SPKLU) di 73 lokasi di Indonesia. Mengutip Antara, Kepala Biro Komunikasu Layanan Informasi dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi, menyampaikan bahwa Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pamdjaitan secara virtual telah meresmikan SPKLU pertama di Jalan Tol Trans-Sumatera pada Selasa 26 Januari 2021.
Keseriusan Pemerintah Indonesia dengan persiapan penggunaan mobil listrik juga tertuang di Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2020. PLN diberi tugas untuk menyediakan infrastruktur pengisian kendaraan bermotor listrik dengan rencana peambahan hingga 254.181 unit untuk 10 tahun ke depan.
Dari segi pendanaan, peluang Indonesia untuk menarik investor besar dunia terbuka lebar. Terbukti dengan masuknya investasi dari LG Energy Solution untuk pembangunan proyek baterai kendaraan listrik. Selain itu, produsen kenamaan AS asuhan Elon Musk, Tesla juga kabarnya berencana untuk menanamkan modalnya di Tanah Air.
Potensi Indonesia
Terkait potensi Indonesia dalam memproduksi mobil listrik sendiri, jika dilihat kemambuan dari sumber daya manusia mampu-mampu saja. Berbicara dengan VOI, pengamat otomotif Bebin Djuana, banyak putra bangsa yang memiliki kemampuan. Pertanyaannya adalah apakah mereka diberi kesempatan?
Apalagi mobil listrik komponennya lebih sedikit, sepersepuluh dari mobil yang ada sekarang. Bebin menerangkan bahwa 30 atau 40 tahun yang lalu Indonesia punya mimpi membuat kendaraan sendiri. Namun tidak kunjung berhasil karena dipaksakan semua buatan negeri. Banyak komponen, tidak masuk skala ekonomi, dan harga menjadi mahal.
"Sekarang kita lihat mobil listrik, untuk belajar rancang bangun juga tidak serumit dulu. Sepersepuluh dari mobil yang ada sekarang, saya melihatnya ke situ. Jadi kemungkinan untuk membuat mobil sendiri atau motor sendiri bisa jadi kenyataan,"
Menurut peneliti dari INDEF, Heri Firdaus, terkait siap atau tidaknya Indonesia dalam produksi mobil listrik secara nasional, bisa saja dilakukan mengingat komponen mobil listrik lebih sedikit. Namun ada baiknya tidak terburu-buru dan dimulai dari memproduksi komponen terkecil, baterai misalnya. Kita ketahui bahwa material komponen baterai terhampar luas di Indonesia.
Saat dihubungi, Heri juga menjelaskan bahwa Indonesia bisa saja ikut berperan dalam industri mobil listrik dengan memproduksi komponen-komponen yang ada pada mobil listrik. Selain lebih efisien, hal tersebut juga menambah nilai dari barang tersebut mengingat Indonesia nantilah yang mengekspor barang.
Selain itu perlu diingat bahwa sebuah negara tidak diwajibkan untuk memiliki merek mobil sendiri. Yang terpenting adalah dilihat dari efisiensinya dalam proses produksi. Pun jika dipaksa merakit mobil listrik nasional dengan mengimpor komponen-komponennya, justru akan mengeluarkan dana lebih.
"Karena kalau semuanya impor lalu kita (Indonesia) hanya merakitnya, kan bagaimana nilainya. Seperti menjahit saja kita kalau begitu," ujar Heri saat dihubungi VOI.
Selain itu, persiapan produksi atau penggunaan mobil listrik tidak mudah. Banyak hal yang harus diperhatikan dan berbagai kementerian terkait. Selain dari sisi pemerintahan, Indonesia juga harus lebih mempersiapkan lebih lagi dari sisi SDM seperti contohnya memberi pembelajaran terhadap anak bangsa agar nantinya bisa lebih kaya ilmu dalam hal yang berkaitan dengan mobil listrik, apalagi tujuan utama Indonesia memproduksi mobil listrik skala nasional.
Selain itu dengan adanya Pepres 55 Tahun 2019, juga dapat mendorong mobil listrik nasional. Hal tersebut dikarenakan sudah ada payung hukum yang kuat. Namun sekali perlu diingat bahwa memproduksi mobil listrik nasional tidak mudah dan melibatkan berbagai pihak, ada baiknya terdapat turunan dari perpres agar lebih baik lagi persiapannya dan memperkuat koordinasi antar pihak yang terlibat, tambah Heri.
Simulasi mengendarai mobil listrik
Kami berusaha menggambarkan bagaimana dan apa saja yang dibutuhkan dalam penggunaan mobil listrik. Jakarta - Pantai Anyer sebagai pilihan gambarannya. Butuh waktu 2 jam perjalanan ke Pantai Anyer jika kita berkendara dari Jakarta. Jarak Jakarta - Pantai Anyer kurang lebih 140 km -150 km.
Pengamat otomotif Bebin Djuana menjelaskan, sebelum memulai perjalanan, yang perlu diperhatikan sedari awal adalah seberapa jauh mobil listrik itu dapat menjangkau perjalanan dalam keadaan full charged. Hal tersebut tergantung dari setiap merek mobil listrik.
Anggaplah kita memiliki mobil listrik merek Hyundai IONIQ. Hyundai IONIQ jika dalam keadaan full charged, bisa menempuh hingga 373 km. Artinya, jika kita melakukan perjalanan dari Jakarta ke Anyer yang berjarak sekitar 150 km, kita tidak perlu khawatir akan kehabisan daya di perjalanan, karena kita menempuh jarak yang tidak sampai batas maksimal.
Namun, bagaimana jika mobil listrik atau motor listrik yang kita miliki jika dalam keadaan full charged, memiliki daya tempuh di bawah 150 km? Bebin mengingatkan, pentingnya mengetahui letak di mana saja SPKLU berada dalam perjalanan, di titik km berapa daya kendaraan menjadi 10 persen, dan butuh berapa lama waktu pengisian daya kendaraan dari 10 persen ke 80 persen.
"Urusan isi bensin cuma 5-10 menit. Kalau nge-charge baterai (mobil) Anda harus ancer-ancer 'di restoran mana ya saya bisa numpang nge-charge.' Anda harus punya plan yang lebih matang."
Mengubah gaya hidup
Pengalihan penggunaan mobil konvensional ke mobil listrik bukan sekadar mengubah bahan bakar kendaraan yang sebelumnya BBM menjadi baterai. Namun, berbagai aspek perlu diperhatikan. Karena gaya hidup akan berubah.
Bebin mengingatkan bahwa dengan ketika kita memiliki kendaraan listrik, kita harus memiliki rencana yang lebih matang. Karena, untuk mengisi daya listrik mobil saja sudah butuh waktu. Berbeda dengan mobil konvensional yang hanya perlu antre, isi bensin, dan langsung bisa melanjutkan perjalanan.
"Anda isi bensin 5-10 menit selesai dan itu sudah sekalian waktu antre. Kalau nge-charge? Setengah jam saja belum tentu terisi 80 persen." ujar Bebin.
Selain keadaan mobil, keadaan pengisi daya juga harus diperhatikan. Apabila menggunakan fast charger, waktu pengisian daya listrik bisa lebih cepat. Contoh jika kita memiliki mobil yang harus diisi daya hingga 100 persen membutuhkan waktu 7-8 jam, dengan fast charger waktu tersebut dapat dipotong hingga setengahnya, biasanya ada di tempat pengisian umum. Sedangkan pengisi daya biasa, bisa memakan waktu hingga 7-8 jam atau 11-12 jam, tergantung dari merek mobilnya. Semakin canggih teknologinya, semakin cepat pengisian daya mobil.
Meski terdengan rumit, Bebin mengatakan bahwa hal tersebut dikarenakan belum terbiasanya masyarakat menggunakan mobil listrik. Apalagi sebenarnya banyak keuntungan yang dirasa ketika menggunakan mobil listrik. Di antaranya pengisian daya yang lebih murah dibanding isi bensin, serta perawatan mobil yang lebih mudah.
"Jika perawatan mobil saat ini, Anda harus melakukan pengurusan. Pengurusan apa? ke bengkel, servis. Paling tidak ganti oli. Namun untuk mobil listrik, mungkin yang terpenting Anda jangan lupa nge-charge," tutup Bebin.
Ikuti Tulisan Seri Edisi Ini: Sengat Pesona Mobil Listrik