Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan penahanan tersangka dugaan korupsi pengadaan kelengkapan rumah dinas anggota DPR menunggu penghitungan kerugian negara.

Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri menyebut proses penghitungan kerugian negara dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Mereka harus mengantongi hasilnya sebelum melakukan upaya paksa penahanan.

“Sebagai pemahaman bahwa ini adalah perkara yang berkaitan Pasal 2 dan Pasal 3. Artinya ada penentuan kerugian negara yang merupakan koordinasi dengan BPK maupun BPKP,” kata Ali kepada wartawan yang dikutip Rabu, 29 Mei.

“Setelah kemudian selesai di sana, di lembaga yang menghitung kerugian keuangan negara tentu kami selesaikan proses berikutnya yaitu pemanggilan tersangka dan penahanan,” sambungnya.

Ali belum memerinci siapa tersangka dalam kasus ini. Namun, dia menyinggung praperadilan yang diajukan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dan dicabut oleh Sekjen DPR Indra Iskandar.

“Salah satu tersangkanya merasa dirugikan karena menjadi tersangka dan mengajukan praperadilan adalah Sekjen DPR. Karena dia sebagai pelaksana dan beberapa orang lain disebut bersama-sama melaksanakan proyek tersebut dan ada proses yang dilakukan dengan tidak semestinya sehingga menimbulkan kerugian negara,” jelas Ali.

Diberitakan sebelumnya, KPK sedang mengusut dugaan korupsi di Setjen DPR berkaitan dengan pengadaan kelengkapan furniture atau perabotan di rumah dinas anggota parlemen. Diduga pengisian ruang tamu hingga kamar tidur dicurangi.

Total ada tujuh orang sudah dicegah ke luar negeri dalam kasus ini. Dari informasi yang dihimpun, mereka adalah Sekjen DPR Indra Iskandar; Kepala Bagian Pengelolaan Rumjab DPR RI Hiphi Hidupati; Dirut PT Daya Indah Dinamika, Tanti Nugroho; dan Direktur PT Dwitunggal Bangun Persada, Juanda Hasurungan Sidabutar.

Kemudian turut dicegah juga Direktur Operasional PT Avantgarde Production, Kibun Roni; Project Manager PT Integra Indocabinet, Andrias Catur Prasetya; dan Edwin Budiman yang merupakan swasta.

Modus yang terjadi dalam kasus ini adalah pelanggaran beberapa ketentuan terkait pengadaan barang dan jasa dan penggelembungan anggaran atau mark-up. Rumah dinas yang pengisiannya dikorupsi terletak di Kalibata dan Ulujami, Jakarta Selatan.