JAKARTA - Setiap negara harus membayar banyak untuk penanganan virus corona atau COVID-19. Soal uang, biaya penanganan pandemik ini jelas tak murah. Lainnya, yang lebih penting adalah soal kemanusiaan. Pasukan garda depan, tenaga medis dan pekerja lain yang bersinggungan langsung dalam penanganan COVID-19 adalah mereka yang membayar mahal. Terkait dua hal tersebut, apa yang bisa dilakukan negara?
Singapura adalah contoh terdekat yang boleh jadi teladan. Tentang bagaimana Negeri Singa menghargai tenaga-tenaga medis dan pekerja lain di garda depan perlawanan COVID-19. Di Singapura, sederet elite politik, mulai dari Presiden, menteri dalam kabinet, hingga para kepala lembaga negara lain merelakan satu bulan gajinya dipotong.
Langkah ini penting. Tak cuma menampakkan solidaritas, tapi juga sebagai wujud konkret penghargaan terhadap pasukan garda depan. Wakil Perdana Menteri Heng Swee Keat, di sidang parlemen, 28 Februari menjelaskan, dalam skema pemotongan gaji itu, kelebihannya dialokasikan sebagai bonus --dengan besaran satu bulan gaji-- bagi para pasukan garda depan.
BACA JUGA:
Solidaritas yang ditunjukkan kalangan pemerintah menular ke sektor lain. Dilansir Quartz, perusahaan Singapura, Temasek juga melakukan hal yang sama. Kepala perusahaan menginstruksikan kepada seluruh petinggi untuk mengalokasikan gaji mereka ke para pegawai yang bekerja di bagian operasional. Nilai sumbangannya, beda-beda, dikembalikan pada masing-masing petinggi.
Tak hanya menulari dalam negeri. Kebijakan pemerintah Singapura juga diikuti pemerintah Hong Kong dalam rangka mengapresiasi tim kesehatan yang sedang melewati masa-masa sulit berjibaku dengan COVID-19. Kebijakan itu membuat seluruh pejabat yang ditunjuk secara politis untuk menyumbangkan gajinya selama sebulan untuk subsidi.
Menariknya, kebijakan dari pemerintah Hong kong ini direalisasikan tepat sebelum mereka menawarkan bonus bagi kepada staf medis yang berada di garda terdepan dari daerah paling berisiko tinggi menularnya COVID-19. Bonus tersebut sebesar 20 persen dari gaji pokok harian mereka. Kebaikan menular dengan cepat.
Apa kabar Indonesia?
Jika Mohammad Husni Thamrin masih hidup, barangkali gerakan keteladanan soal alokasi uang ini akan dimulai di Indonesia. Ia adalah pejabat volksraad (dewan rakyat zaman bahela). Thamrin dikenal sebagai tokoh yang cekatan soal membela kepentingan rakyat. Segala pikirannya tertuju pada keberpihakan pada rakyat.
Sejarawan JJ Rizal bercerita, jika rakyat kesulitan, Thamrin bahkan rela mengeluarkan uang dari kantong pribadinya sendiri. Ketika harga minyak dan kacang hijau terlalu mahal, urusan penyiraman jalan, banjir, hingga memperbaiki kampung-kampung, Thamrin akan berkata:
Kalau pemerintah enggak berani keluar duit bantu rakyat, Gue yang keluar duit!
BACA JUGA:
Seruan itu sering sekali dikeluarkan Thamrin untuk menyindir pemerintah kolonial yang kala itu memegang kuasa atas rakyat Indonesia. Thamrin telah wafat sejak 1941. Sayang, hingga kini belum ada pejabat negara yang tampak mewarisi keteladanannya. Lihat saja pemberitaan. Belum ada satu pun pejabat Indonesia yang menunjukkan gelagat kedermawanan.
Tapi, dukungan justru hadir dari mereka yang berstatus sebagai figur publik. Beberapa di antaranya adalah Nikita Mirzani dan Rachel Vennya. Walau berbeda bentuk, langkah keduanya dalam membantu mereka yang berjuang melawan COVID-19 patut diikuti. Jika pemerintah tak mau, rakyat kaya raya bolehlah merajut tali subsidi.
BACA JUGA:
“Niki sedih karena virus corona sudah menyebar sampai Indonesia. Niki ada sedikit rezeki, Niki akan menyumbangkan 100 juta uang Niki pribadi untuk membantu. Mudah-mudahan bisa mengurangi penyebaran virus corona yang ada di Indonesia ini,” kata Nikita di akun Instagramnya.
Beda Nikita, beda pula selebgram yang juga pengusaha, Rachel Vennya. Rachel mengajak para pengikutnya beserta masyarakat untuk mengumpulkan dana melalui situs kitabisa.com. Tujuan pengumpulan dananya tak lain untuk memberikan perlindungan kepada petugas kesehatan yang menangani COVID-19 di Indonesia.
“Tapi, pasti masih ada pekerja medis dan informal seperti ibu-ibu yang tetap harus bekerja untuk anaknya. Misalnya, seorang ibu yang jadi perawat atau petugas kesehatan di rumah sakit rujukan. Mereka masih harus merawat pasien positif COVID-19. Risiko pekerjaan mereka sangat tinggi demi melindungi kita semua,” tulis Rachel dalam laman kitabisa.com.
Penggalangan yang dilakukan 16 Maret sudah mendapatkan hasil yang cukup fantastis. Dalam 24 jam, pengumpulan dana sudah memperoleh angka 1 milliar lebih. “Aku enggak nyangka akan sebesar ini nominalnya dengan waktu sesingkat ini.”