Setahun COVID-19 di Indonesia, Ahli WHO Sebut Bisa Jadi Endemik
Ilustrasi tes COVID-19. (Jakayla Toney/Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Pandemi COVID-19 di Indonesia yang pertama kali diumumkan pada 2 Maret 2020, genap setahun esok hari. Berbagai cara penanganan dilakukan pemerintah, hingga menggulirkan program vaksinasi. 

Hingga kemarin, angka kumulatif kasus positif COVID-19 di Indonesia mencapai 1.334.634 kasus, 155.765 orang dirawat, 1.142.703 orang sembuh dan 36.166 orang meninggal.

Di penghujung tahun lalu, ahli Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, dunia harus belajar untuk hidup dengan COVID-19, seolah seperti takdir untuk menjadikannya endemik seperti varian flu lainnya, kendati sudah ada vaksin COVID-19. 

"Dunia mengharapkan kekebalan kawanan, yang entah bagaimana penularannya akan menurun jika cukup banyak orang yang kebal," sebut Profesor David Heymann, ketua kelompok penasihat strategis dan teknis WHO untuk bahaya infeksi, melansir The Guardian.

Namun, Heymann yang juga ahli epidemiologi pada London School of Hygiene and Tropial Medicine mengungkapkan, konsep kekebalan kawanan telah disalahpahami.

“Tampaknya takdir SARS-CoV-2 (COVID-19) menjadi endemik, seperti halnya empat virus korona manusia lainnya, dan akan terus bermutasi saat berkembang biak di dalam sel manusia, terutama di area dengan penerimaan yang lebih intens," jelasnya.

“Untungnya, kami memiliki alat untuk menyelamatkan nyawa, dan ini dikombinasikan dengan kesehatan masyarakat yang baik akan memungkinkan kami untuk belajar hidup dengan COVID-19,” paparnya.

Semantara itu, Kepala program kedaruratan WHO Dr Mike Ryan mengatakan, skenario yang mungkin terjadi adalah, virus bisa menjadi virus endemik namun dengan tingkat ancaman yang sangat rendah, seiring dengan efektifnya program vaksinasi global.  

“Masih harus dilihat seberapa baik vaksin tersebut digunakan, seberapa dekat kita mencapai tingkat cakupan yang memungkinkan kita memiliki kesempatan untuk melakukan eliminasi,” papar Ryan.

“Keberadaan vaksin, bahkan dengan efikasi tinggi, bukanlah jaminan untuk memberantas atau memberantas penyakit menular. Itu adalah standar yang sangat tinggi untuk kami lewati," imbuhnya 

Untuk itulah, sambung Ryan, tujuan pertama dari vaksin COVID-19 itu untuk menyelamatkan nyawa dan melindungi yang rentan, baru kemudian melihat potensi untuk menghilangkan atau membasmi virus ini. Namun, pada saat bersamaan ia juga mengingatkan, pandemi ini belum tentu yang terbesar.

"Pandemi ini sangat parah, memengaruhi setiap sudut planet ini, tapi ini belum tentu yang terbesar. Ini adalah panggilan untuk menyadarkan Kami sekarang belajar, bagaimana melakukan sesuatu dengan lebih baik: sains, logistik, pelatihan dan tata kelola, bagaimana berkomunikasi dengan lebih baik," tukasnya. 

Sementara, Kepala ilmuwan WHO Dr Soumya Swaminathan dalam kesempatan yang sama menuturkan, kendati telah ada vaksinasi, penerapan protokol kesehatan seperti jarak sosial tetap harus diperhatikan.

Dikatakannya, peran pertama dari vaksin itu adalah untuk mencegah penyakit simptomatik, penyakit parah dan kematian. Tetapi, apakah vaksin juga akan mengurangi jumlah infeksi atau mencegah orang menularkan virus masih harus dilihat.

“Saya tidak percaya kami memiliki bukti tentang vaksin mana pun untuk yakin, vaksin akan mencegah orang benar-benar terkena infeksi dan karena itu dapat menularkannya. Jadi saya pikir kita perlu berasumsi bahwa orang yang telah divaksinasi juga perlu melakukan tindakan pencegahan yang sama," jelasnya.