Pengusaha Harry Van Sidabukke Didakwa Suap Juliari Peter Batubara Rp1,2 Miliar Secara Bertahap
Mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara (Foto: ANTARA)

Bagikan:

JAKARTA - Penyuap mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara, Harry Van Sidabukke didakwa telah memberikan suap terkait pengadaan bantuan sosial (bansos) senilai Rp 1.280.000.000 (1,28 miliar).

Uang suap itu diberikan secara bertahap melalui dua pejabat pembuat komitmen (PPK) Kementerian Sosial (Kemensos) Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono.

"Telah melakukan beberapa perbuatan yang mempunyai hubungan sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut, memberi sesuatu yaitu memberi uang seluruhnya sebesar Rp1.280.000.000 kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara," ucap jaksa Muhammad Nur Azis membacakan dakwan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu, 24 Februari.

Dalam dakwaan itu, tindak pidana suap bermula saat Harry Van Sidabukke mendapat informasi perihal proyek bansos sembako dalam penanganan dampak Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Kemensos pada April 2020.

Sehingga, terdakwa pun mencoba menemui Pepen Nazaruddin selaku Direktur Jenderal dan Mokhamad O. Royani selaku Sekretaris pada Direktorat Jenderal Perlindungan Jaminan Sosial Kemensos. Tujuannya, untuk menanyakan perihal proyek bansos tersebut.

Kemudian, dari pertemuan itu terdakwa mendapat saran dari Royani agar berkoordinasi dengan Rizki Maulana. Tujuannya, untuk mengajukan penawaran proyek tersebut dengan menggunakan PT Mandala Hamonangan Sude.

"Namun PT Mandala Hamonangan Sude tidak memenuhi kualifikasi. Selanjutnya atas saran Achmad Gamaluddin Moeksin, terdakwa menemui Lalan Sumaya selaku Direktur Operasional PT Pertani (Persero) yang telah ditunjuk pada tanggal 15 April 2020 sebagai salah satu penyedia barang dalam pengadaan bansos untuk dapat menjadi supplier bagi PT Pertani (Persero)," ungkap jaksa.

Kemudian, Harry menemui Lalan untuk membahas kerja sama itu pada 16 April 2020. Akhirnya, mereka berdua sepakat terdakwa menjadi supplier barang-barang non beras dalam proyek bansos tersebut. Tapi dalam kerja sama itu, terdakwa bertanggungjawab untuk menanggung biaya operasional dalam hal apapun dengan pihak luar.

"Selanjutnya sebagai perwakilan PT Pertani (Persero), terdakwa menghadap kepada Victorus Saut Hamonangan Siahaan selaku Kepala Sub Direktorat Penanganan Bencana Sosial & Politik pada Direktorat PSKBS Kementerian Sosial dan PPK Reguler Direktorat PSKBS untuk memaparkan spek barang, jenis, jumlah, kesiapan gudang," kata jaksa.

Kemudian, terdawa menemui Matheus yang sebelumnya ditujuk oleh Juliari sebagai PKK untuk membahas proses administrasi pengadaan proyek.

Selain membahas hak itu, dalam pertemuan yang berlangsung di ruang kerja Matheus, terdakwa juga diperkenalkan dengan Agustri Yogasmara selaku pemilik kuota paket bansos.

Beberapa hari kemudian, bertempat di Kementerian Sosial Jalan Salemba Raya No. 28, Jakarta Pusat, terdakwa melakukan pertemuan dengan Agustri. Pada pertemuan itu Agustri meminta uang fee yang disanggupi terdakwa," katanya.

Sementara, berdasarkan Keputusan Menteri Sosoal, Juliari yang menunjuk Adi Wahyono sebagi kuasa pengguna anggaran, mengarahkan untuk menarik atau mengumpulkan uang komitmen fee sebesar Rp10.000 per paket dan juga uang fee operasional dari penyedia bansos sembako.

Sehingga, PT Pertani (Persero) mendapatkan kuota paket bansos sembako sebanyak 90.366 paket, terdakwa memberi uang ke Matheus sebesar Rp100 juta pada tahap 1.

Kemudian, PT Pertani (Persero) kembali mendapatkan kuota paket bansos sebanyak 80.177 paket serta paket komunitas sebanyak 50.000 paket pada tahap 3. Sehingga, terdakwa kembali memberikan uang sebagai operasional yang diminta Juliari melalui anak buahnya.

"Sehingga Matheus mengingatkan terdakwa untuk memberikan uang fee operasional. Selanjutnya terdakwa memberikan uang fee operasional dalam bentuk dolar Singapura kurang ebih senilai Rp100 juta," ungkap jaksa.

Hal serupa terjadi pada tahap 5 dan tahap 6. PT Pertani (Persero) yang mendapatkan jatah kuota sebanyak 75.000 pada tahap 5 dan 150.000 pada tahap 6 kembali memberikan uang yang masing-masing dalam bentuk dolar Singapura atau senilai Rp100 juta kepada Matheus.

Pada tahap 7, terdakwa yang menggunakan PT Mandala Hamonangan Sude mendapatkan kuota 180.000 paket bansos. Sehingga, Harry memberikan opersional fee kepada Matheus sebesar Rp180 juta dan kepada Adi senilai Rp50 juta.

Kemudian, terdakwa memberikan uang lagi kepada Matheus sebesar Rp150 juta. Uang itu merupakan oprasional fee pada tahap 8 pengadaan bansos sebanyak 188.713 paket.

Pemberian uang masih terjadi pada tahap 9 dan 10 pengadan paket bansos. Di tahap 9, terdakwa yang menggunakan PT PT Mandala Hamonangan Sude mendapat kuota sebanyak 200.000 paket.

"Sehingga pada awal bulan September 2020, bertempat di parkiran P-1 Kantor Kementerian Sosial, Cawang Kencana, Jakarta Timur, terdakwa memberikan uang fee operasional sebesar Rp200 juta kepada Matheus melalui Sanjata yang merupakan sopirnya," kata jaksa.

"Masih dalam bulan September 2020, bertempat di Club RAIA, terdakwa memberikan uang fee operasional sebesar Rp50 juta kepada Matheus. Selain itu, terdakwa juga memberikan uang fee kepada ADI sebesar Rp50 juta di ruang kerja Adi pada Biro Umum Kementerian Sosial," sambung jaksa.

Rangkain pemberian opersioanl fee itu berakhir pada tahap 10. PT Pertani (Persero) dan PT PT Mandala Hamonangan Sude mendapatkan kuota paket sebanyak 175.000 paket. Sehingga terdakwa memberikan uang fee operasional sebesar Rp200 juta kepada Mateus dengan cara melalui sopirnya.

Dengan runutan proses suap itu, Harry Sidabukke mendapatkan proyek pengadaan paket sembako sebanyak 1.519.256 paket melalui PT Pertani (Persero) dan PT Mandala Hamonangan Sude.

Sehingga, dalam perkara ini Harry Van Sidabukke didakwa Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Atau Pasal 13 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.