JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut pelaku korupsi tak bisa dihukum mati. Sebab, menghukum mati koruptor sama saja dengan melanggar aturan internasional yang menilai korupsi tak masuk dalam most serious crime atau pelanggaran HAM berat.
"Hukuman mati itu hanya diizinkan untuk tindak pidana yang disebut the most serious crime," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam diskusi daring yang ditayangkan di YouTube, Minggu, 21 Februari.
Dia kemudian memaparkan, berdasarkan aturan internasional, hanya ada empat kejahatan yang tergolong pelanggaran HAM berat dan boleh dihukum mati yaitu genosida, kejahatan kemanusiaan, agresi, dan kejahatan perang.
"Korupsi, narkoba dan lainnya itu tidak termasuk itu," tegasnya.
Sehingga, dia menilai penerapan hukuman mati terhadap dua mantan menteri di Kabinet Indonesia Maju, yaitu mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dapat menimbulkan kontroversi khususnya di kancah internasional.
Taufik mengamini jika hukuman mati bagi pelaku korupsi di tengah pandemi dibolehkan dalam aturan yang berlaku. Dia bahkan menyebut, berdasarkan hasil Judicial Review (JR) di Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu, hukuman mati dinilai tak melanggar UUD 1945.
"Tapi ini belum selaras dengan pernyataan hukum tingkat global, meski masih memberikan ruang bagi negara yang masih mengakui hukuman mati itu boleh diterapkan the most serious crime," ungkap Taufik.
Sehingga, dia meminta wacana hukuman mati diperhatikan matang-matang. Eksekusi mati pelaku korupsi tidak boleh dilakukan hanya karena emosi belaka.
"Kita perlu diskusikan dalam konteks kemanfaatan, dan harus memikirkan sentimen. Karena sering kali ide-ide seperti ini dalam rangka menangkap sentimen masyarakat yang marah," ujarnya.
BACA JUGA:
Diberitakan sebelumnya, Diberitakan sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamekumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyebut mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sangat mungkin dijatuhi hukuman mati. Dia beralasan, keduanya bisa dihukum mati karena melakukan praktik korupsi di tengah pandemi COVID-19 dan memanfaatkan jabatan yang mereka punya.
"Kedua mantan menteri ini (Edhy Prabowo dan Juliari Batubara, red) melakukan perbuatan korupsi yang kemudian terkena OTT KPK. Bagi saya mereka layak dituntut Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang mana pemberatannya sampai pidana mati," kata Omar dalam acara sebuah acara beberapa waktu lalu.
"Jadi dua yang memberatkan itu dan itu sudah lebih dari cukup dengan Pasal 2 Ayat 2 UU Tipikor," imbuhnya.
Korupsi Edhy dan Juliari
Diketahui, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo merupakan tersangka penerima suap yang berkaitan dengan ekspor benur atau benih lobster. Penetapan tersangka ini dilakukan setelah dirinya terjaring operasi tangkap tangan (OTT) sepulangnya dari lawatan ke Amerika Serikat.
Dalam kasus suap ekspor benur atau benih lobster ini, Edhy Prabowo ditetapkan sebagai tersangka penerima suap bersama lima orang lainnya yaitu: Stafsus Menteri KKP Safri (SAF) dan Andreau Pribadi Misanta (APM); Pengurus PT Aero Citra Kargo (PT ACK) Siswadi (SWD); Staf istri Menteri KKP Ainul Faqih, dan Amiril Mukminin (AM). Sementara pemberi suap adalah Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (PT DPPP) Suharjito (SJT).
Edhy ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima suap dari perusahaan-perusahaan yang mendapat penetapan izin ekspor benih lobster menggunakan perusahaan forwarder dan ditampung dalam satu rekening hingga mencapai Rp9,8 miliar.
Sedangkan Juliari ditetapkan sebagai tersangka setelah KPK lebih dulu menjerat anak buahnya dalam operasi senyap. Dia ditetapkan sebagai penerima suap terkait pengadaan bantuan sosial (bansos) COVID-19 di wilayah Jabodetabek.
Tak hanya itu, komisi antirasuah juga menetapkan empat tersangka lainnya yaitu Pejabat Pembuat Komitmen di Kementerian Sosial (PPK) MJS dan AW sebagai penerima suap serta AIM dan HS selaku pemberi suap.