Soal Kemungkinan Menteri PDIP Ikuti Jejak Mahfud MD, Hasto: Kita Cermati Dinamika Politik yang Ada
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto (DOK VOI/Wardhany Tsa Tsia)

Bagikan:

JAKARTA - Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menyatakan, pihaknya tak mau buru-buru minta menteri asal partainya di Kabinet Indonesia Maju mengikuti jejak Mahfud MD yang mundur dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). Banyak hal yang harus dicermati sebelum mengambil langkah itu.

“Kita cermati dinamika politik yang ada,” Hasto dalam konferensi pers di Kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 1 Februari.

Hasto menyebut salah satu hal yang dicermati adalah perlakuan terhadap Menteri Sosial Tri Rismaharini. Klaimnya, data yang disediakan Kementerian Sosial belakangan tidak digunakan saat pembagian bantuan sosial (bansos) dilaksanakan.

“Kalau mau bagi bansos, ini data orang miskin. Membagi beras untuk keluarga miskin, ini data orang miskin. Orang miskin bukan hanya di Jawa Tengah, Jogja, Jawa Timur, Lampung tapi di seluruh Indonesia,” tegasnya.

Langkah tersebut kemudian disayangkan oleh PDIP. Kata Hasto, bansos yang anggarannya besar seharusnya tak boleh dimanfaatkan hanya untuk mengejar efek elektoral.

Namun, dia juga mengingatkan para menteri terutama dari PDIP tak boleh sembarangan mengambil sikap seperti Mahfud. Sebab, partai berlambang banteng harus menempatkan kepentingan bangsa.

“Kepentingan bangsa di atas segalanya. Apapun stabilitas politik itu sangat penting di tengah-tengah pertarungan geopolitik saat ini, di tengah tengah ancaman krisis ekonomi karena persoalan geopolitik yang belum selesai,” ujar mantan Anggota DPR RI tersebut.

“Ini yang kemudian kami melakukan kalkulasi secara matang. Mundur gampang tapi pertimbangan yg mendalam seperti prof Mahfud MD itu pertimbangan yang sangat mendalam,” sambungnya.

Lagipula, PDIP masih memberi kesempatan bagi pihak lain untuk menunjukkan netralitasnya di Pilpres 2024. Terutama, Presiden Jokowi sebagai pemimpin tertinggi.

“Masih ada kesempatan 13 hari ke depan untuk melakukan suatu koreksi di dalam penyelenggaraan pemilu. Di mana otoritas tertinggi dalam sistem pemerintahan ini seharusnya benar-benar netral dalam memastikan suara rakyat adalah suara Tuhan,” pungkas Hasto.