Bagikan:

YOGYAKARTA - Presiden Advokat Muda Indonesia, Musthafa mempertanyakan netralitas Joko Widodo (Jokowi) dalam kapasitasnya sebagai presiden. Pernyataan kontroversial Jokowi mengenai kewenangan presiden untuk memihak kembali memunculkan keprihatinan di kalangan masyarakat.

Meskipun, kata Musthafa sebelumnya Jokowi menegaskan netralitas perangkat negara, pernyataannya yang mengizinkan presiden untuk memihak menimbulkan pertanyaan serius.

Dalam merespons hal ini, ia menilai kejanggalan ini yang spesifik diatur dalam UU Pemilu nomor 7 tahun 2017 pasal 281, dengan syarat tertentu.

"Dalam UU Pemilu, pasal 281 telah diatur dengan sangat jelas bahwa jika ingin kampanye, syaratnya wajib cuti. Artinya, ketika cuti, presiden bukan dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, melainkan sebagai individu Jokowi," ungkap Musthafa, yang juga merupakan bagian dari Tim Hukum dan Advokasi LBH Arya Wiraraja, dalam keterangan resmi kepada VOI, Selasa, 30 Januari.

Musthafa melanjutkan, "Pertanyaan mendasar adalah bagaimana rakyat dapat menilai dan membedakan Jokowi sebagai presiden dengan Jokowi sebagai individu biasa. Tafsiran terhadap pasal ini sangat sulit, terlebih lagi dalam praktiknya.

Mengapa? Karena jabatan presiden melekat pada dirinya 24 jam, otomatis semua atribut yang digunakan berasal dari APBN, yang bersumber dari rakyat."

Menurut Musthafa, sikap Jokowi ini dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.

"Dalam konteks ini, kita tahu bahwa salah satu pasangan calon presiden adalah anak kandungnya. Ini menimbulkan indikasi penyalahgunaan kekuasaan dan konflik kepentingan yang menciderai nilai-nilai demokrasi," tegasnya.

"Saya mendesak agar DPR, sebagai lembaga pengawas, segera menggunakan kewenangannya untuk melakukan pengawasan melalui hak angket, interpelasi, atau menyatakan pendapat terhadap tindakan Jokowi," pungkasnya.