JAKARTA - Kasus Hepatitis A melonjak di kamp-kamp pengungsi di Jalur Gaza, dengan PBB memperingatkan kepadatan yang berlebihan sangat parah, membuat ratusan orang berbagi fasiliats sanitasi, menjadikan sulitnya pengendalian penyakit tersebut.
Salah satu pengungsi Ruba Abu Al Khaeer mengatakan, ia menghabiskan sebagian besar waktunya mengunjungi klinik, mencari pengobatan untuk putranya yang berusia 14 tahun, yang tertular Hepatitis saat tinggal di tempat penampungan UNRWA.
Penyakit ini menyerang hati dan dapat menyebabkan penyakit berbulan-bulan. Orang lanjut usia dan orang dengan kondisi kesehatan penyerta adalah yang paling berisiko.
"Anak saya, Mohammed, sehat, tapi tiba-tiba dia mulai menderita demam, mual dan muntah," kata Ruba kepada The National News, seperti dikutip 29 Januari.
Semula, Ruba yakin putranya mengalami infeksi saluran pencernaan, yang biasa terjadi di tempat penampungan karena air yang tidak bersih, makanan yang tidak dimasak dengan benar dan paparan polusi.
Ruba bersama keluarganya saat ini tinggal di salah satu ruang kelas kecil sekolah UNRWA di Deir Al Balah, pusat Gaza, setelah melarikan diri dari Jabilia. Daerah tersebut sudah menjadi rumah bagi ratusan ribu pengungsi, bahkan sebelum perang dahsyat saat ini terjadi.
"Saya mulai memberinya obat untuk membersihkan usus, tapi gejala lain mulai muncul, seperti matanya menguning," lanjutnya.
"Jadi, saya merasa khawatir karena saya tahu menguning itu salah satu gejala Hepatitis," tandasnya.
Guru sains dan ibu empat anak ini pun membawa Mohammed ke klinik, di mana seorang dokter yang memeriksa putranya memastikan dia menderita Hepatitis A.
Khawatir terhadap putranya, Ruba tidak yakin apa yang harus dilakukan ketika dokter menyarankannya untuk menjaga kebersihan di area tempat tinggal Mohammed.
Ini adalah tugas yang hampir mustahil. Seperti banyak orang di Gaza, dia tinggal bersama 40 anggota keluarga lainnya di ruang kelas yang sama, tanpa tempat lain untuk berlindung.
Sanitasi hampir tidak ada di kamp-kamp tersebut, dengan kotoran manusia dan sampah menjadi masalah yang tidak dapat diatasi karena banyaknya orang di sekitar kamp, di tengah kekurangan air yang parah.
Sepanjang perang, organisasi kesehatan lokal dan internasional telah memperingatkan penyebaran epidemi di kalangan pengungsi karena tidak tersedianya air.
"Kita hidup dalam kondisi yang tidak sehat. Ayah saya meninggal di shelter ini karena kurangnya kebersihan. Apa yang harus saya lakukan? Haruskah saya menunggu kesehatan anak saya semakin memburuk?" ratap Ruba.
Sementara itu, Dr. Bahaa Al Aloul, yang bekerja di klinik UNRWA di Dier Al Balah, selatan Gaza, yang memantau kasus Mohammed mengatakan, alasan utama Hepatitis di daerah tersebut adalah air yang tidak bersih dan tempat penampungan yang penuh sesak.
"Alasan utama penyebaran Hepatitis di Jalur Gaza adalah kepadatan di tempat penampungan, di mana kamar mandi yang tidak bersih dan banyaknya orang yang menggunakan fasilitas yang sama berkontribusi terhadap masalah ini," terang Dr. Al Aloul kepada The National.
"Selain itu, memasak makanan di ruangan yang sama dan terdapat banyak orang telah menyebabkan penyebaran penyakit," tandasnya.
Dr. Al Aloul menekankan pentingnya pasien Hepatitis untuk tetap berada di lingkungan yang bersih.
"Sayangnya, tempat penampungan telah menjadi lingkungan yang menyebarkan penyakit di Gaza karena kepadatan yang berlebihan, terutama ketika limbah terkadang meluap di kamp-kamp kecil dan tempat penampungan tersebut," paparnya.
"Satu-satunya obat yang saya punya di sini adalah untuk menurunkan demam, tapi pasien hepatitis membutuhkan vitamin untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh, yang sayangnya tidak tersedia di klinik," ungkapnya.
BACA JUGA:
Menurut Kementerian Kesehatan, lebih dari setengah juta warga Gaza, atau sekitar seperempat populasi di wilayah tersebut, terserang penyakit berbahaya antara akhir Oktober dan 8 Januari, dengan lebih dari 8.000 infeksi Hepatitis A, termasuk 6.723 kasus di seluruh Gaza. anak-anak.
Sekitar 235.000 orang terjangkit pneumonia dan setidaknya 300.000 orang terserang diare akibat air yang terkontaminasi, yang dapat membunuh kelompok rentan melalui dehidrasi dan kondisi kulit.
Sementara menurut PBB, sekitar 3.000 orang jatuh sakit karena diare setiap hari, peningkatan sebesar 2.000 persen dibandingkan kasus sebelum perang.