Polda NTB Tangkap Sindikat Perdagangan Manusia, Korban Dibawa ke Turki Kenyataannya Makan Sekali
Polisi menangkap dua pria yang diduga sebagai anggota sindikat perdagangan manusia lintas negara.

Bagikan:

MATARAM - Polisi menangkap dua pria yang diduga sebagai anggota sindikat perdagangan manusia lintas negara.

Dirreskrimum Polda NTB Kombes Hari Brata mengatakan kedua pelaku ditangkap di bawah komando tim subdit IV bidang remaja, anak dan wanita (renakta)

"Mereka ditangkap berdasarkan hasil penyelidikan anggota di lapangan," kata Kombes Hari Brata didampingi Kabid Humas Polda NTB Kombes Artanto dikutip Antara, Selasa, 23 Februari.

Dua pria yang ditangkap berinisial AB (41), warga Suralaga, Kabupaten Lombok Timur, yang berperan sebagai perekrut di NTB dan penampung di Jakarta berinisial HS (44), warga Ciracas, Jakarta Timur.

"Selain menampung, HR ini juga yang memberangkatkan korban," ujarnya.

Kombes Hari Brata mengatakan sindikat perdagangan manusia lintas negara ini punya modal besar. Mereka membiayai perekrutan sampai pengiriman korban. Jaminan keuntungan berlipat ganda membuat bisnis haram ini tetap berjalan.

"Setiap satu orang yang berhasil direkrut, mereka ini dapat upah sampai Rp120 juta," kata dia.

Salah seorang perempuan korban perdagangan manusia dari sindikat ini berinisial HR (29), warga Suralaga, Kabupaten Lombok Timur.

Korban awalnya dijanjikan untuk bekerja di Abu Dhabi sebagai asisten rumah tangga dengan gaji Rp4 juta per bulannya. Selain gaji tinggi dan pemberangkatan tanpa biaya, korban juga dijanjikan uang saku Rp2,5 juta.

Kelengkapan administrasi untuk keberangkatannya juga dibuatkan oleh pelaku. Mulai dari pengurusan biaya pemeriksaan kesehatan hingga pembuatan paspor di Kota Mataram.

"Tapi faktanya, korban malah diselundupkan ke Turki. Modusnya, korban dimasukkan ke negara lain untuk bekerja tetapi menggunakan visa wisata. Pengirimannya secara perorangan," sambung Kombes Hari Brataa.

Sesampainya di Turki, korban kembali ditampung bersama pekerja migran gelap lainnya dalam sebuah ruangan kecil. Makan dan minum hanya sekali sehari. Paspornya juga ditahan agensi.

Ketika diserahkan kepada majikannya, korban kerap mendapat perlakuan tidak manusiawi. Bahkan gaji yang dijanjikan Rp4 juta hanya diberikan setengahnya.

"Jadi tidak sampai dua tahun, korban memutuskan kabur dan meminta perlindungan ke KBRI di Ankara pada Desember 2020. Dari situ penyelidikan kami dimulai," katanya.