JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Firli Bahuri, diketahui bertemu dengan Syahrul Yasin Limpo di safe house yang berada di Jalan Kertanegara nomor 46, Jakarta Selatan. Pada pertemuan itu, terjadi transaksi senilai Rp800 juta.
Terungkapnya hal ini berdasarkan keterangan tim Bidang Hukum (Bidkum) Polda Metro Jaya saat menjawab permohonan gugatan praperadilan kubu Firli Bahuri dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Pada tanggal 12 Februari 2021, terjadi pertemuan di rumah (atau) safe house yang beralamat di Jalan Kertanegara nomor 46 RT 10/RW 03, Kelurahan Rawa Barat, Kecamatan Kebayoran Baru, Kota Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta antara Syahrul Yasin Limpo, saudara Irwan Anwar, dan pemohon terjadi transaksi sebesar 800 juta rupiah dalam bentuk valas," ujar salah satu anggota tim Bidkum Polda Metro Jaya dalam persidangan, Selasa, 12 Desember.
Awal pertemuan itu ketika Firli Bahuri menghubungi Anom Wibowo, seorang anggota polisi yang saat ini berpangkat Brigjen dan bertugas sebagai Direktur Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa Direktorat Jenderal Kekayaaan Intelektual Kemenkumham, pada Februari 2021.
"Pemohon menghubungi saudra Anom Wibowo untuk menyampaikan pesan kepada saudara Irwan Anwar agar menghubunginya," sebutnya.
Kemudian, Irwan Anwar yang kini menjabat sebagai Kapolrestabes Semarang, menghubungi Firli Bahuri.
Isi percakapan keduanya perihal Ketua KPK nonaktif itu meminta Irwan Anwar untuk menemani Syahrul Yasin Limpo yang akan menghadapnya.
Hingga akhirnya, pertemuan itu terealisasi pada 12 Februari 2021. Kemudian, ada penyerahan atau transaksi senilai ratusan juta.
"Bahwa setelah saudara Irwan Anwar menghubungi pemohon, pemohon mengatakan pada intinya agar sudara Irwan Anwar menemani Syahrul Yasin Limpo untuk menghadap dan bersilaturahimi kepada pemohon," katanya.
Firli Bahuri sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan terhadap eks Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo. Penetapan itu berdasarkan hasil gelar perkara yang dilakukan Rabu, 22 November.
BACA JUGA:
Beberapa alat bukti yang menjadi dasar penetapan tersangka yakni, dokumen penukaran valas senilai Rp7,4 miliar. Kemudian, ada juga hasil ekstraksi 21 ponsel.
Firli disangkakan dengan Pasal 12e, 12B atau Pasal 11 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto Pasal 65 KUHP. Sehingga, terancam pidana penjara seumur hidup.