JAKARTA - Militer Tiongkok pada Hari Senin mengatakan, sebuah kapal Angkatan Laut Amerika Serikat secara ilegal memasuki perairan yang berdekatan dengan Second Thomas Shoal, sebuah atol di Laut Cina Selatan yang disengketakan dan baru-baru ini terjadi beberapa ketegangan maritim.
"AS secara serius merusak perdamaian dan stabilitas regional," kata juru bicara Teater Operasi Selatan Tiongkok dalam sebuah pernyataan, seraya menambahkan bahwa AS mengganggu Laut Cina Selatan dan melanggar kedaulatan Tiongkok, melansir Reuters 4 Desember.
Juru bicara militer Tiongkok mengatakan, kapal perang tersebut diawasi dan diikuti, sementara "pasukan Tiongkok di teater selalu waspada setiap saat untuk secara tegas mempertahankan kedaulatan nasional".
Sementara itu, Angkatan Laut AS mengatakan USS Gabrielle Giffords (LCS-10), kapal tempur pesisir Kelas Independence, sedang melakukan operasi rutin di perairan internasional di Laut Cina Selatan, sesuai dengan hukum internasional.
"Setiap hari Armada ke-7 AS beroperasi di Laut Cina Selatan, seperti yang telah mereka lakukan selama beberapa dekade," terang Angkatan Laut AS dalam sebuah pernyataan.
"Operasi ini menunjukkan komitmen kami untuk menegakkan kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka," sambung pernyataan itu.
Tiongkok diketahui sedang berselisih dengan beberapa negara tetangganya mengenai klaim luas wilayah perairan di Laut Cina Selatan.
Dalam beberapa bulan terakhir, Tiongkok beberapa kali terlibat perselisihan dengan kapal-kapal Filipina, serta memprotes kapal-kapal AS yang berpatroli di wilayah sengketa.
BACA JUGA:
Menurut militer Tiongkok, kapal perang AS bergerak ke perairan yang berdekatan dengan wilayah yang disebut Tiongkok sebagai Renai Reef, yang juga dikenal sebagai Second Thomas Shoal, bagian dari Kepulauan Spratly.
"Kami tidak akan terhalang untuk terus bekerja sama dengan sekutu dan mitra kami dalam mendukung visi bersama kami untuk Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka,” jawab Angkatan Laut AS.
Diketahui, Second Thomas Shoal terletak di zona ekonomi eksklusif Filipina, menurut keputusan pengadilan PBB pada tahun 2016.