Kondisi Demokrasi Jelang Pemilu 2024 Dinilai Alami Krisis Moral
Ilustrasi pemilu (ANTARA)

Bagikan:

JAKARTA - Wakil Presiden ke-10 dan 12 RI, Muhammad Jusuf Kalla (JK) menyinggung soal krisis politik di akhir periode pemerintahan Presiden Joko Widodo. Menurut JK, banyak pihak yang merasa kondisi politik hari ini kurang baik dan menganggap Indonesia sudah jauh dari demokrasi.

Menanggapi hal itu, Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati, menilai situasi demokrasi saat ini khususnya menghadapi tahapan kampanye di Pemilu 2024 juga semakin mengalami krisis keadaban dan moralitas.

“Situasi ini menimbulkan keresahan apalagi untuk anak anak muda seperti saya di mana diharapkan pemilu bisa melahirkan pemimpin profetik yang bisa mengubah peradaban bangsa semakin lebih baik, tetapi faktanya ketika yang harus kita lalui adalah proses hukum yang cacat moral makin menunjukkan ketamakan yang semakin menjadi-jadi,” ujar Neni di Jakarta, Kamis, 16 November.

Bukan saja soal salah satu cawapres yang legitimasinya dianggap cacat legalitas, namun juga potensi adanya penyalahgunaan alat negara hingga penyalahgunaan kewenangan tugas pembantu presiden. Bahkan kondisi lembaga peradiln hukum pun juga mengkhawatirkan.

“Menjelang tahapan kampanye, para menteri yang masuk koalisi mulai menggelontorkan program bansos, memangnya Indonesia ini terus menerus kondisinya darurat sehingga program program bansos dengan sengaja dilakukan saat masuk tahapan kampanye?," kata Neni heran.

"Apalagi nanti kan semua hasil pemilu ketika muncul perselisihan sengketa hasil semua ujungnya di MK, sementara kita tau saat ini bagaimana kondisi para hakim MK,” sambungnya.

Oleh karena itu, Neni menilai, suara kritis dan panduan moral dari para tokoh bangsa patut selalu digaungkan. Apalagi ketika tahapan pemilu yang tengah berlangsung dan potensi kecurangan yang masif.

Menurutnya, hukum sudah dijadikan alat melanggengkan kekuasaan, semua aturan main diperalat dengan menghalalkan segala cara, dan yang penting tujuan tercapai.

“Untuk mengontrol jalannya pemilu saya kira saat ini memang kita butuh para muadzin bangsa yang terus menyuarakan secara lantang terkait dengan keresahan yang terjadi dan permasalahan bangsa yang kian terpuruk,” pungkasnya.

Sebelumnya, Jusuf Kalla menilai krisis politik yang terjadi bersamaan dengan krisis ekonomi bukan mustahil terjadi di masa pemerintahan Presiden Jokowi.

JK pun mengingatkan, sejarah mencatat pemerintahan Soekarno dan Soeharto jatuh karena diterpa krisis politik dan krisis ekonomi yang datang secara bersamaan.

"Kondisi saat ini semua orang sudah protes, maka bisa terjadi krisis politik. Oleh karena itu, harus dijaga jangan terjadi," ujar JK saat berpidato pada acara Habibie Democracy Forum, Rabu, 15 November.

Ketua Dewan Masjid Indonesia itu mengatakan, saat ini para pemimpin redaksi, partai politik, tokoh-tokoh masyarakat sudah mulai bicara terkait kondisi politik yang kurang baik. Bahwa Indonesia sudah jauh dari demokrasi. Untuk itu dirinya mengajak seluruh masyarakat untuk memperbaiki kondisi.

"Pemerintahan harus lebih demokratis. Kita jalankan pemilu yang aman dan bebas, retorikanya begitu, tapi apa yang dilaksanakan belum tentu," katanya.

JK pun mengingatkan soal masa jabatan presiden maksimal dua periode atau 10 tahun yang sudah sesuai dengan konstitusi.

"Pak jokowi bagus, pertamanya, bukan karena saya ada di situ. Saya tahu betul tidak ada masalah, tapi setelah 10 tahun (berbeda). Seperti dikatakan, sesuai konstitusi harus 10 tahun, jangan lebih. Begitu lebih, maka akan bermasalah," tutup Jusuf Kalla