Pemakzulan Donald Trump, Nafsu Politik atau Sesuai Konstitusi?
Ilustrasi sidang pemakzulan. (Wikimedia Commons/United States Senate)

Bagikan:

JAKARTA - Mayoritas Senat Amerika Serikat (AS) pada Hari Selasa 9 Februari waktu setempat, memilih untuk mengadakan persidangan pemakzulan penuh mantan Presiden Donald Trump. Senat mendukung argumen Partai Demokrat, bahwa persidangan diizinkan berdasarkan Konstitusi AS.

Senator AS memberikan suara melanjutkan persidangan pemakzulan Donald Trump dengan tuduhan menghasut serangan mematikan di Capitol Hill, menolak klaim bahwa persidangan itu tidak konstitusional, setelah melihat video grafis dari serangan Januari.

Senat memilih 56-44 untuk melanjutkan persidangannya terhadap mantan presiden, yang pertama dalam sejarah, menolak sebagian besar argumen pengacara bahwa seorang presiden tidak dapat menghadapi persidangan setelah meninggalkan Gedung Putih

"Apa yang benar-benar ingin mereka capai di sini atas nama Konstitusi adalah, melarang Donald Trump mencalonkan diri lagi untuk jabatan politik. Tetapi ini merupakan penghinaan terhadap Konstitusi tidak peduli siapa yang mereka targetkan hari ini," kata David Schoen, salah satu pengacara Trump.

senat as
Ilustrasi Senat Amerika Serikat .(Wikimedia Commons/US Senate)

Sesuai konstitusi

Berbeda dengan pendapat pengacara Trump yang seolah mengatakan pemakzulan ini merupakan nafsu politik. Para ahli menilai sebaliknya, pemakzulan terhadap mantan presiden bisa dilakukan di Amerika Serikat. Para ahli hukum di sana sepakat, pemakzulan terlambat adalah konstitusional. Sebab, pemakzulan bukan hanya dipakai untuk memberhentikan dari jabatan.

Namun, juga bisa untuk mendiskualifikasi seseorang yang dimakzulkan dari jabatan selanjutnya. Artinya, masih ada alasan untuk mengadili Trump setelah tidak lagi menjabat sebagai Presiden AS. Dan belum pernah terjadi sebelumnya.

Konstitusi Amerika Serikat menyatakan, satu hukuman untuk hukuman lain adalah diskualifikasi seseorang, agar tidak bisa memegang dan menikmati jabatan, kehormatan, kepercayaan atau keuntungan apa pun di Amerika Serikat. Untuk melaksanakan diskualifikasi ini, hanya diperlukan sebagian kecil anggota Senat AS. 

Lebih spesifik, Profesor Hukum dan Pakar Pemakzulan terkemuka dari Michigan State University Brian Kalt mengatakan, mayoritas ahli mengatakan adalah konstitusional untuk mengadakan sidang pemakzulan setelah seorang pejabat meninggalkan jabatannya.

Kalt adalah bagian dari kelompok bipartisan yang terdiri dari sekitar 150 pengacara, yang menandatangani surat yang menyatakan bahwa Trump masih dapat dihukum dalam persidangan pemakzulan.

"Kami berbeda satu sama lain dalam politik kami, dan kami juga berbeda satu sama lain dalam masalah penafsiran konstitusi. Namun terlepas dari perbedaan kami, pandangan hukum kami yang dipertimbangkan dengan cermat membuat kami semua setuju bahwa Konstitusi mengizinkan pemakzulan, penghukuman dan diskualifikasi mantan pejabat, termasuk presiden," jelasnya melansir Reuters.

Berkaca dari tuduhan yang dikenakan pada Trump, menghasut serangan mematikan di Capitol Hill saat ia masih menjabat sebagai Presiden, sehingga menjadikannya dianggap melakukan pelanggaran. 

Banyak ahli percaya bahwa presiden yang melakukan pelanggaran di akhir masa jabatannya seharusnya tidak kebal dari proses yang diciptakan Konstitusi untuk meminta pertanggungjawaban mereka. Pemakzulan dapat digunakan untuk mendiskualifikasi seseorang dari jabatan politik di masa depan.

Bagaimana jika pemakzulan kedua ini gagal menghukum atau memakzulkan Trump? Profesor Hukum Konstitusional Universitas Colorado Paul Campos mengatakan, meskipun Senat tidak menghukum presiden, para senator dapat mengadakan pemungutan suara terpisah kedua, untuk mencegahnya dari jabatannya di masa depan dengan suara mayoritas sederhana.

Artinya, Partai Demokrat sebagai mayoritas Senat AS, dengan keberadaan Wakil Presiden Kamala Harris sebagai Ketua Senat AS, dapat memakzulkan Trump, termasuk untuk mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2024, bahkan tanpa dukungan dari Partai Republik.