JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap Syahrul Yasin Limpo memeras pegawainya lewat kebijakan yang dibuatnya saat menjadi Menteri Pertanian (Mentan). Uang yang terkumpul itu kemudian digunakan untuk kebutuhan pribadi maupun keluarganya.
Hal ini disampaikan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak saat mengumumkan Syahrul sebagai tersangka pada hari ini, Rabu, 11 Oktober.
“SYL kemudian membuat kebijakan personal kaitan adanya pungutan maupun setoran diantaranya dari ASN internal Kementan untuk memenuhi kebutuhan pribadi termasuk keluarga intinya,” kata Johanis dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan.
Duit itu, sambung Johanis, dikumpulkan oleh Kasdi Subagyono yang merupakan Sekjen Kementan dan Muhammad Hatta menjadi Direktur Alat dan dan Mesin Kementan. Pejabat yang wajib menyetor adalah mereka dari unit eselon I dan eselon II.
“Penyerahan (dalam bentuk, red) tunai, transfer rekening bank, hingga pemberian dalam bentuk barang maupun jasa,” ujarnya.
KPK menduga duit yang disetorkan ke Syahrul di antaranya berasal dari realisasi anggaran Kementerian Pertanian yang kemudian dimark-up. “Termasuk permintaan uang pada para vendor yang mendapatkan proyek di Kementerian Pertanian,” tegas Johanis.
Adapun uang yang dikumpulkan Kasdi dan Hatta beragam mulai dari 4.000 hingga 10.000 dolar Amerika Serikat. Nilai ini berbeda setiap masing-masing lingkup jabatan dan wajib disetorkan rutin tiap bulan.
Berikutnya, uang tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi Syahrul. Di antaranya membayar cicilan kartu kredit hingga membeli mobil Toyota Alphard.
BACA JUGA:
“Sejauh ini uang yang dinikmati SYL bersama-sama dengan KS dan MH sejumlah sekitar Rp13,9 miliar dan penelusuran lebih mendalam masih terus dilakukan tim penyidik,” jelas Johanis.
Saat ini, KPK baru menahan Kasdi selama 20 hari hingga 30 Oktober. Sementara Syahrul serta Hatta tidak hadir karena masih ada keperluan keluarga dan meminta penjadwalan ulang.
Akibat perbuatannya, tiga tersangka ini disangka melanggar Pasal 12 huruf e dan 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.