JAKARTA - Seorang analis intelijen yang juga veteran mengatakan, Korea Utara telah memulai program modernisasi militer, salah satunya dengan mendaur ulang ratusan jet tempur usang menjadi drone kamikaze untuk menyerang Korea Selatan.
"Korut sedang mencoba mengubah pesawat tempur Soviet menjadi drone kamikaze yang dipersenjatai dengan amunisi berpemandu presisi," jelas Choe Su-ryong, mantan agen Badan Intelijen Nasional (NIS), mengatakan kepada The Korea Times, mengutip seorang informan yang berbasis di Korea Utara. Korea Utara, seperti dilansir 25 Agustus.
"Drone bunuh diri tak berawak ini akan digunakan untuk menyerang fasilitas industri dan infrastruktur utama Korea Selatan," sebutnya.
Choe pensiun dari NIS pada tahun 2011, mengakhiri dua dekade pengabdiannya sebagai agen rahasia.
Pesawat tempur yang dimaksudnya adalah jet seri MiG buatan Uni Soviet. Korea Utara diketahui memiliki lebih dari 400 pesawat tempur MiG, mulai dari jet tempur MiG-17 yang diproduksi pada tahun 1950an hingga MiG-29 yang diperkenalkan pada tahun 1980an.
Dalam wawancara media pada Oktober 2022, Shin In-kyun, seorang analis pertahanan dan pendiri serta presiden Jaringan Militer Korea mengatakan, Korea Utara memiliki total 431 jet tempur MiG_ 107 pesawat tempur MiG-17, 100 MiG-19, 150 MiG-21, 56 MiG-23 dan 18 pesawat tempur MiG-29.
"Beberapa orang mengatakan Korea Utara memiliki total sekitar 800 jet tempur. Namun banyak di antara mereka yang sudah usang sehingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya dan oleh karena itu tidak pantas disebut jet tempur lagi," urainya.
Sementara itu, pensiunan Kolonel Angkatan Udara Hong Sung-pyo yang juga analis riset senior di Institut Urusan Militer Korea mengatakan, dia yakin informasi tentang Korea Utara yang mengadaptasi pesawat tempur usang untuk digunakan sebagai drone bunuh diri terdengar "cukup meyakinkan."
“Otoritas militer Korea Utara akan tergoda untuk menggunakan kembali jet tempur yang sudah ketinggalan zaman, seperti MiG-17 dan MiG-19, untuk menggunakannya sebagai drone serangan bunuh diri tanpa awak,” katanya kepada The Korea Times.
"Sebenarnya militer Korea Selatan telah mempersiapkan ancaman militer semacam ini sejak lama," tandasnya.
Tidak seperti drone militer lainnya yang dapat dikendalikan dari jarak jauh dan kembali ke pangkalan setelah menjatuhkan bom atau bahan peledak. Drone bunuh diri dirancang untuk menabrak sasaran dan meledak. Tergantung pada UAV, berbagai jenis bahan peledak dan rudal dapat dibawa drone jenis ini.
Lebih lanjut Hong mengatakan, Korea Utara telah mengoperasikan sistem autopilot jarak jauh (RAS) pada tahun 1980an.
"Ibarat drone, RAS tidak berawak, namun cara kerjanya sangat berbeda dengan Unmanned Aerial Vehicle (UAV)," jelasnya.
"Secara fisik, RAS jauh lebih besar daripada UAV pada umumnya, dan RAS digunakan untuk menguji rudal udara-ke-udara. Jet tempur membawanya ke udara dan membiarkannya terbang. Mereka digunakan sebagai sasaran dan jet tempur menembak jatuh mereka. untuk menguji rudal mereka," tandasnya.
Mengingat operasi RAS di masa lalu, Hong mengatakan dia yakin Korea Utara mungkin memiliki kemampuan untuk memproduksi, mengoperasikan dan memelihara UAV dalam negeri, serta teknologi untuk mengubah jet tempur usang menjadi drone bunuh diri bersenjata.
“Kami melihat drone peniru Global Hawk milik Korea Utara yang diperkenalkan pada parade militer tanggal 27 Juli. Ada yang mengatakan drone tak berawak itu tampak seperti Global Hawk, namun kemampuannya dipertanyakan. Namun menurut saya, drone Korea Utara lebih canggih daripada yang digambarkan dalam gambar media," sebutnya.
Terpisah, Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol sebelumnya mendesak para menteri Kabinet terkait, untuk meningkatkan kesiapan negara guna menggagalkan kemungkinan serangan Korea Utara terhadap infrastruktur Korea Selatan.
"Jika terjadi perang, Korea Utara akan berusaha menghancurkan infrastruktur dan fasilitas utama Korea Selatan untuk melumpuhkan sistemnya," terangnya, saat memimpin rapat Kabinet yang diadakan Senin lalu.
BACA JUGA:
Presiden Yoon menyebut lokasi reaktor nuklir, kompleks teknologi industri dan lokasi yang terkait dengan jaringan komunikasi nasional sebagai target yang mungkin ingin dihancurkan oleh Korea Utara dengan rudal, drone, atau serangan sibernya.
"Jika fasilitas-fasilitas ini dihancurkan, kemampuan militer Korea Selatan pada masa perang akan sangat melemah, yang akibatnya akan membahayakan warga negara kami," paparnya.
"Oleh karena itu, kita perlu meningkatkan sistem secara dramatis, untuk melindungi fasilitas nasional utama kita dari berbagai jenis serangan Korea Utara," pungkasnya.