JAKARTA - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Hari Rabu mengklasifikasikan jenis virus corona EG.5 yang beredar di Amerika Serikat sebagai "varian yang menarik", kendati mengatakan varian tersebut tampaknya tidak menimbulkan lebih banyak ancaman bagi kesehatan masyarakat daripada varian lainnya.
Varian yang menyebar dengan cepat dan banyak ditemukan di Amerika Serikat dengan perkiraan lebih dari 17 persen kasus, telah menjadi penyebab peningkatan virus di seluruh negeri, juga telah terdeteksi di sejumlah negara, seperti China, Korea Selatan, Jepang dan Kanada.
"Secara kolektif, bukti yang ada tidak menunjukkan bahwa EG.5 memiliki risiko kesehatan masyarakat tambahan relatif terhadap garis keturunan Omicron lainnya yang saat ini beredar," kata WHO dalam evaluasi risiko, melansir Reuters 10 Agustus.
Diperlukan evaluasi yang lebih komprehensif terhadap risiko yang ditimbulkan oleh EG.5, tambahnya.
Mengutip CBS News, varian EG.5 atau Eris mendominasi kasus COVID-19 di AS hingga Jumat pekan lalu dengan persentase 17,3 persen. Di belakangnya ada XBB.1.16 (15,6), XBB.2.23 (11,2) dan XBB.1.5 (10,3).
Sementara itu, Maria van Kerkhove, pemimpin teknis WHO untuk COVID-19, mengatakan EG.5 memiliki kemampuan penularan yang meningkat, tetapi tidak lebih parah daripada varian Omicron lainnya.
"Kami tidak mendeteksi adanya perubahan tingkat keparahan EG.5 dibandingkan dengan subgalur Omicron lainnya yang telah beredar sejak akhir 2021," jelas van Kerkhove.
Terpisah, Dirjen WHO Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, selain EG.5, pihaknya juga mencermati beberapa varian COVID-19 lainnya.
"Risiko tetap muncul varian yang lebih berbahaya yang dapat menyebabkan peningkatan kasus dan kematian secara tiba-tiba," ungkapnya dikutip dari situs PBB.
Dr. Tedros menyayangkan bahwa banyak negara yang tidak melaporkan data COVID-19 kepada WHO. Dikatakannya, hanya hanya 11 persen negara yang melaporkan rawat inap dan penerimaan pasien di ICU yang terkait dengan virus tersebut.
Menanggapi hal ini, WHO mengeluarkan serangkaian rekomendasi untuk COVID, di mana WHO mendesak negara-negara untuk terus melaporkan data COVID, terutama data kematian, data morbiditas, dan terus menawarkan vaksinasi.
Van Kerkhove mengatakan, ketiadaan data dari banyak negara menghambat upaya memerangi virus ini.
BACA JUGA:
"Sekitar setahun yang lalu, kami berada dalam situasi yang jauh lebih baik untuk mengantisipasi atau bertindak atau lebih gesit," katanya.
"Dan sekarang keterlambatan dalam kemampuan kita untuk melakukan hal tersebut semakin bertambah. Dan kemampuan kami untuk melakukan hal ini semakin menurun," lanjutnya.
Diketahui, COVID-19 telah menewaskan lebih dari 6,9 juta orang di seluruh dunia, dengan lebih dari 768 juta kasus terkonfirmasi sejak virus ini muncul. WHO menyatakan wabah ini sebagai pandemi pada bulan Maret 2020 dan mengakhiri status darurat global untuk COVID-19 pada Bulan Mei tahun ini.