JAKARTA - Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. pada Hari Rabu membantah membuat kesepakatan dengan China, terkait pemindahan kapal perang yang dikaramkan dan dijadikan sebagai pos militer di Laut China Selatan, mengatakan jika kesepakatan itu pernah ada, harus dianggap dibatalkan.
China pada Hari Senin menuduh Filipina mengingkari janji yang dibuat "secara eksplisit", untuk memindahkan kapal perang yang dikaramkan pada 1999 tersebut, guna meningkatkan klaim teritorialnya di salah satu wilayah yang paling diperebutkan di dunia.
"Saya tidak mengetahui adanya pengaturan atau kesepakatan seperti itu, bahwa Filipina akan mengeluarkan kapalnya dari wilayahnya sendiri," kata Presiden Marcos Jr. dalam pernyataan video, melansir Reuters 9 Agustus.
"Dan biarkan saya melangkah lebih jauh, jika memang ada perjanjian seperti itu, saya membatalkan perjanjian itu sekarang," tegas Presiden Marcos Jr.
Filipina diketahui mempertahankan beberapa pasukan di atas kapal perang BRP Sierra Madre yang berasal dari era Perang Dunia II di Second Thomas Shoal, yang dikenal oleh Manila sebagai Beting Ayungin, yang terletak di dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) sepanjang 200 mil.
Sementara itu, Jonathan Malaya, asisten direktur jenderal Dewan Keamanan Nasional, sebelumnya menantang China untuk menunjukkan bukti janji tersebut.
"Untuk semua maksud dan tujuan, itu adalah isapan jempol dari imajinasi mereka," katanya.
Terpisah, tidak ada komentar dari Kedutaan Besar China di Manila terkait hal ini.
China dan Filipina diketahui telah terlibat konfrontasi selama bertahun-tahun di beting tersebut, dengan yang terbaru terjadi Sabtu lalu. Filipina menuduh penjaga pantai China menggunakan meriam air untuk menghalangi misi pasokan ke BRP Sierra Madre.
Filipina "berkomitmen untuk mempertahankan" kapal berkarat di beting itu, kata Malaya, menambahkan itu adalah "simbol kedaulatan kami di beting yang terletak di ZEE kami".
BACA JUGA:
Filipina memenangkan putusan arbitrase internasional terhadap China pada tahun 2016, setelah sebuah pengadilan mengatakan klaim kedaulatan Beijing atas sebagian besar Laut China Selatan tidak memiliki dasar hukum, termasuk di Second Thomas Shoal.
Diketahui, ZEE memberi negara hak berdaulat atas perikanan dan sumber daya alam dalam jarak 200 mil dari pantainya, tetapi tidak menunjukkan kedaulatan atas wilayah tersebut.
Sementara, China telah membangun pulau-pulau buatan manusia yang dimiliterisasi di Laut China Selatan dan klaim kedaulatan bersejarahnya tumpang tindih dengan ZEE sejumlah negara, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia hingga Brunei.