Jaksa-Saksi Dianggap Lembek Cari Kejanggalan Lelang Korupsi BTS 4G
Sidang Korupsi BTS 4G di Pengadilan Tipikor (Foto: RIzky AP/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Fahzal Henri mengganggap Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan saksi sangat lembek dalam mencari fakta baru dalam persidangan kasus dugaan korupsi pengadaan Base Transceiver Station (BTS) 4G hari ini.

Adapun, dalam persidangan yang melibatkan eks Menkominfo Johnny G Plate sebagai terdakwa itu menghadirikan tujuh orang saksi.

Bermula dari Hakim Ketia Fahzal mempertegas kembali pertanyaan yang sempat dilontarkan jaksa mengenai skema lelang tender proyek BTS 4G dan infrastruktur pendukungnya yang digelar secara offline.

Pertanyaan itu diarahkan kepada saksi Gumala Warman selaku Kadiv Pengadaan dan Sistem Informasi Direktorat Sumberdaya Administrasi Bakti atau Ketua Pokja Pengadaan Penyedia.

"Ada yang salah di manual itu?" tanya Fahzal dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis, 3 Agustus.

"Karena pada prinsipnya harus menggunakan elektronik untuk menjaga persaingan usaha. Kan enggak boleh sebenarnya," terang jaksa.

"Ada larangan manual?" lanjut Fahzal.

"Ada larangannya," ucap jaksa.

Mendengar penjelasan itu, Hakim Ketua Fahzal meminta saksi untuk menjelaskan perihal aturan tender lelang.

"Biar jelas masalahnya apa. Sekarang saya tanya, Gumala, aturannya gimana manual atau eletronik?" tanya Fahzal.

"Pengadaan di BAKTI kita sudah menerapkan sistem elektronik," terang Gumala.

"Aturannya saya tanya," potong Fahzal.

"Sistem elektronik," jawab Gumala.

"Kemudian beralih ke manual. Apa bedanya?" lanjut Fahzal.

"Manual kita terima fisik," kata Gumala.

"Tadi penuntut umum menyatakan menjaga persaingan. Terus kalau manual itu apa ada persaingan atau tidak?" timpal Fahzal.

"Yang kita alami sama persaingannya, pak. Tidak ada yang kita terima di luar batas waktu yang kita tentukan," kata Gumala.

"Lembek-lembek, lemah gemulai kayak begini, saudara main tender triliunan," sindir Fahzal.

Hingga akhirnya, Gumala menyebut bila mengacu Peraturan Direktur Utama BAKTI Nomor 7 Tahun 2020, Prakualifikasi tender tidak mengharuskan dengan skena online atau elektronik.

"Manual saja tidak menyalahi?" timpal Fahzal.

"Iya," jawab Gumala singkat.

"Harus klir nih. Kalau menurut penuntut umum kenapa itu ditanyakan karena manual itu ada larangan dalam Peraturan Direktur Utama BAKTI, atau Keppres," ucap Fahzal.

"Harus tajam pak, molong-molong saja. Untuk ngomong-omong biasa saja ngapain kita sidang begini. Apa yang janggal di tahap pelelangan ini. Itu yang kita cari. Dijawabnya juga lembek, pertanyaannya juga lembek," lanjut Fahzal.

"Mohon maaf majelis," jawab jaksa.

"Bukan harus keras sidang ini, tidak. Kita mencari fakta. Saudara tutupi nanti saya ketok sumpah palsu semua saya bikin. Sekali ketok masuk saya bilang," kata Fahzal.

Sebagai informasi, dalam perkara ini, Johnny G. Plate didakwa melakukan dugaan tindak pidana korupsi penyediaan infrastruktur BTS 4G dan infrastruktur pendukung BAKTI Kominfo periode 2020–2022 yang merugikan keuangan negara sebesar Rp8.032.084.133.795,51.

Dalam surat dakwaan, disebutkan sejumlah pihak mendapat keuntungan dari proyek pembangunan tersebut, yaitu Johnny G. Plate menerima uang sebesar Rp17.848.308.000,00; Anang Achmad Latif menerima uang Rp5 miliar; Yohan Suryanto menerima Rp453.608.400,00.

Selanjutnya, Irwan Hermawan menerima Rp119 miliar; Windi Purnama selaku Direktur PT Multimedia Berdikari Sejahtera menerima Rp500 juta; Muhammad Yusrizki selaku Direktur PT Basis Utama Prima menerima Rp50 miliar dan 2,5 juta dolar AS; Konsorsium FiberHome PT Telkominfra PT Multi Trans Data (PT MTD) untuk Paket 1 dan 2 menerima Rp2.940.870.824.490,00; Konsorsium Lintasarta Huawei SEI untuk paket 3 menerima Rp1.584.914.620.955,00; dan Konsorsium IBS dan ZTE Paket 4 dan 5 mendapat Rp3.504.518.715.600,00.