Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Luar Negeri merupakan laboratorium yang selalu memberikan kesempatan belajar dengan berbagai tantangan dan permasalahan, kata Teuku Faizasyah.

Menduduki jabatan juru bicara Kementerian Luar Negeri RI sejak 2019 lalu, Faizasyah kemudian dilantik sebagai Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Kemlu selang setahun kemudian. Ini merupakan kali kedua dirinya menduduki jabatan tersebut, setelah sebelumnya menduduki jabatan serupa pada tahun 2008 silam, yang ketika itu disebut Kepala Biro Administrasi Menteri.

Bulan lalu, Faizasyah dilantik oleh Presiden Joko Widodo sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Kerajaan Norwegia merangkap Islandia di Istana Negara. Baginya, kepercayaan ini menjadi kesempatan untuk mempelajari hal-hal baru.

"Bagi saya pribadi, Kemlu laboratorium yang sangat bagus. Kita tidak pernah dihadapi satu masalah yang sama. Setiap saat ada isu yang harus kita tangani, hadapi, pengetahuan baru yang kita dapatkan dan lain-lain," katanya kepada VOI usai keterangan pers di Jakarta beberapa waktu lalu.

"Seperti sekarang saya mau ke Norwegia ya, tema isunya kan sudah bergeser ke isu-isu lingkungan, energi hijau, jadi saya juga harus swicth ini. Pengetahuan dan pola pikir saya sekarang harus belajar banyak mengenai isu-isu yang hijau-hijau. Enggak pernah berhenti untuk belajar di Kemlu," sambungnya.

Tiga puluh tiga tahun menjalani karir diplomatik, Faizasyah menghadapi banyak dinamika di periode keduanya sebagai Jubir Kemlu, di mana adanya pandemi COVID-19 serta Presidensi G20 tahun lalu.

teuku faizasyah
Teuku Faizasyah. (Sumber: Kementerian Luar Negeri RI)

Pandemi COVID-19

Saat pandemi COVID-19 melanda dunia, Faizasyah mengenang Kementerian Luar Negeri mendapatkan tugas untuk membangun kepercayaan internasional, bahwa Indonesia bisa mengatasi permasalahan terkait COVID-19. Sebab, ketika itu banyak berita di luar yang tidak cukup berimbang, melihat Indonesia dari satu sisi.

"Karena kita pernah kan sekali waktu naik sekali (kasus) COVID-19, (ketika varian) Delta ya. Di situlah Presiden meminta pada satu forum khusus, briefing oleh Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi di istana. Setiap minggu kita kelola meeting itu. Menlu sebagai juru bicara utama, menghadirkan menteri lain plus pakar kesehatan. Jadi sifatnya memang selama pandemi itu, pesannya harus terus menyampaikan kesiapan pemerintah mengatasi pandemi, membangun kepercayaan," kenang Faizasyah.

"Kemlu fokus pada penanganan masalah pandemi dan membuka akses bagaimana mendapatkan vaksin, bagaimana mencari peluang ekspor, investasi, itu semua jadi fokus polugri kita," tandasnya, menambahkan fokus isu lain selama pandemi adalah pemulangan WNI, pengadaan alat bantu kesehatan dan vaksin COVID-19.

Pria berdarah Aceh kelahiran Bandung ini mengatakan, selama pandemi, semangat kerja sama antar negara sangat tinggi, untuk mencari solusi bersama sekaligus memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakatnya.

"Di situ peran Indonesia nampak, kita tidak egois karena juga ingin mencari solusi bagi negara-negara yang terpuruk seperti di Afrika. Peran internasional kita jalankan. Itu yang dihargai oleh banyak negara. Indonesia bisa memimpin, Ibu Menlu sebagai Ketua Bersama COVAX AMC (mekanisme global penyaluran vaksin COVID-19 gratis). Kita bisa berbuat sesuatu, kepemimpinan kita diapresiasi," ungkap pria yang pernah menjadi juru bicara Kepresidenan Republik Indonesia Bidang Luar Negeri era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini.

"Berbicara hubungan kerja sama internasional, aspek penerimaan itu sangat penting dapat diterima oleh semua pihak. Indonesia bisa diterima di mana-mana karena kita dianggap bisa menjadi bagian dari solusi," tandasnya.

teuku faizasyah
Teuku Faizasyah. (Sumber: Kementerian Luar Negeri RI)

Komunikasi dan Konflik

Saat Indonesia memegang Presidensi G20, pecah konflik Rusia-Ukraina seiring dengan invasi Moskow pada Februari tahun 2022. Faizasyah mengenang, Presiden Jokowi didukung Menlu Retno Marsudi dan menteri-menteri lain, mengatur strategi komunikasi di berbagai level, dijaga agar sama dan tidak berbeda-beda.

"Kita tidak membuka ruang bagi negara lain menjadikan forum ini forum persaingan antar kelompok. Kita sebagai tuan rumah ingin G20 ini dikenang sebagai capaian G20-nya, bukan forum yang pecah karena persaingan Amerika Serikat dan Rusia," terangnya.

Diketahui, sebagai Presiden G20, Indonesia berusaha menjaga forum tersebut tidak berubah maknanya, di tengah sorotan terkait perang di Ukraina, serta Rusia sebagai salah satu anggota G20.

Dikatakannya, menekankan politik luar negeri bebas aktif, Indoneisa bisa bersahabat dengan semuanya.

"Dengan Rusia tetap bersahabat, dengan AS, dengan Ukraina dengan yang lain-lain. Artinya, kita memang tidak mencari musuh dan tidak punya musuh," katanya.

Menduduki jabatan strategis yang berhubungan dengan dunia internasional, pemilik gelar Ph.D dari University of Waikoto ini lebih mengedepankan tersampaikannya pesan, alih-alih cara penyampaiannya.

"Tidak harus nada kencang atau apa ya, yang penting substansi tersampaikan," ucapnya.

Terkait cara komunikasi diplomasi luar negeri, Faizasyah mengatakan, Indonesia tidak akan menjadi yang pertama-tama mengomentari perkembangan di negara lain, sebelum faktanya kita ketahui, sebelum isunya betul-betul didalami dan melihat keterhubungannya dengan kepentingan nasional seperti apa.

"Kita tidak suka negara-negara lain mengomentari indonesia. Misalnya ada sesuatu hal di dalam negeri, kita anggap dinamika kita berdemokrasi, sedang berproses. Tiba-tiba ada jubir negara lain mengomentari masalah dalam negeri kita, misalnya ya, tentunya kita juga tidak suka. Kita melihat itu dari perspektif kalau kita tidak suka negara lain terlalu mengomentari isi perut negara kita, kenapa pula kita melakukan hal yang sama terhadap negara lain," paparnya.

teuku faizasyah
Teuku Faizasyah. (Sumber: Kementerian Luar Negeri RI)

Diplomat hingga Jubir

Penunjukkannya sebagai Duta Besar di Norwegia memperpanjang daftar penugasan luar negerinya. Sejak bergabung dengan Kemlu tahun 1990, beragam penugasan di luar negeri pernah dijalaninya, mulai dari di Amerika Serikat, Afrika Selatan, hingga Duta Besar untuk Kanada dan Perwakilan Tetap RI untuk ICAO di tahun 2014-2018.

Menurutnya, menjadi diplomat tidak 'wah' seperti yang dilihat orang awam dari luar, berkaca dari pengalamannya berkarir sejak awal hingga saat ini, termasuk juga mengenai gaji yang menggunakan mata uang asing.

"Pengalaman karir saya dari bawah, saya bisa mengukur masa-masa sulit, tidak selalu mudah. Kalau dibilang, 'oh gajinya dolar', tapi kan kita hdup dengan living cost yang sesuai dengan negara di mana kita bertugas," tuturnya.

"Kalau di Kemlu kan istilahnya ManTab ya, makan tabungan. Jadi kalau kita keluar negeri, kita dapat tunjangan luar negeri, ditabunglah itu. Pada saat pulang ke Jakarta, kita hidup dengan tabungan itu untuk penugasan yang akan datang. Artinya, tunjangan luar negeri cukup untuk hidup dan menabung," ungkapnya.

Ditambahkan olehnya, tidak selamanya bertugas di negara maju, negara Barat itu yang paling baik. Menurutnya, pengalaman bertugas di negara-negara yang menantang juga memicu untuk beradaptasi dan belajar banyak hal.

Ia pun merasa beruntung memiliki pengalaman menduduki posisi juru bicara Kementerian Luar Negeri hingga dua kali, mendapatkan akses ke informasi-informasi yang tidak bisa dimiliki semua orang.

"Bisa mendapatkan informasi yang beragam, mendapatkan pengetahuan yang mungkin tidak semua mendapatkan informasi itu, karena kita dituntut menjadi generalis. Bisa mengetahui banyak informasi dan bisa mengukur, memilah informasi apa yang bisa disampaikan ke publik apa yang hanya bisa menjadi background, tapi bisa digunakan di kesempatan lain untuk menjelaskan sebagai off the record. itu menurut saya suatu pengalaman yang khas ya, khusus ya, dan tidak semua diplomat karir berkesempatan mendapatkan pengalaman ini, maknanya satu kesempatan yang patut disyukuri," pungkasnya.