Bagikan:

JAKARTA - Kementerian Luar Negeri (Kemlu) membenarkan telah melakukan pemanggilan terhadap perwakilan PBB di Jakarta, usai mengomentari pengesahan Kitab Hukum Undang-undang Pidana (KUHP) pekan lalu.

DPR RI mengesahkan KUHP pada Selasa 6 Desember. PBB mengkritik sejumlah pasal dalam KUHP baru tidak sesuai dengan kebebasan fundamental dan HAM.

"Sudah dipanggil pagi hari ini oleh Kemlu," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah dalam keterangannya di Jakarta, Senin 12 Desember.

Diterangkan olehnya, pemanggilan tersebut merupakan salah satu tata hubungan dalam berdiplomasi.

"Ada baiknya adab yang berlaku adalah dalam interaksi, perwakilan asing atau pun pbb di satu negara, jalur komunikasi selalu ada untuk membahas satu isu," jelasnya.

"Jadi kita tidak menggunakan media massa sebagai alat untuk menyampaikan satu hal yang belum diverifikasi," tandas Teuku Faizasyah.

Memberikan keterangan bersama Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej, Teuku Faizasyah mengingatkan ada baiknya, perwakilan asing termasuk PBB, untuk tidak secara terburu-buru mengeluarkan pendapat atau statement, sebelum mendapatkan satu informasi yang lebih jelas.

"Justru kesempatan untuk bertemu dengan Kemlu, menjadi kesempatan untuk mereka sebagai perwakilan diplomatik, menyampaikan pandangan mereka dan kita akan jawab, memberikan penjelasan," urainya.

"Jadi ada norma-norma dalam hubungan diplomatik yang sepatutnya dilakukan oleh perwakilan asing di suatu negara," tegas Faizasyah.

Diberitakan sebelumnya, PBB mengkritik sejumlah pasal dalam KUHP baru tidak sesuai dengan kebebasan fundamental dan HAM. PBB menilai perombakan menyeluruh, termasuk larangan seks di luar nikah dan hidup bersama pasangan yang belum menikah, dianggap kelompok sipil merupakan ancaman besar bagi hak-hak komunitas LGBTQ di Indonesia.

PBB juga menyebut soal pembaruan untuk pelanggaran terkait penodaan agama. Sementara jurnalis berpotensi terkena jerat hukum kalau menerbitkan berita "yang dapat memicu keresahan".

"Beberapa pasal berpotensi mengkriminalisasi karya jurnalistik dan melanggar kebebasan pers," kata kantor PBB di Indonesia dalam sebuah pernyataan, Kamis pekan lalu.