Komisi I DPR Persilakan Kemenlu Panggil Perwakilan PBB Klarifikasi soal KUHP
Ketua Komisi I DPR Fraksi Golkar Meutya Hafid. (Foto: Dok. Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Ketua Komisi I DPR Fraksi Golkar Meutya Hafid mempersilakan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) untuk memanggil perwakilan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) di Indonesia guna mengklarifikasi pernyataan terkait kritik terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru.

"Saya mempersilakan Kemlu memanggil ataupun bersurat kepada perwakilan PBB di Indonesia dalam rangka klarifikasi terkait tujuan pernyataan tersebut. Ini memang penting dan saya rasa cukup di situ," ujar Meutya kepada wartawan, Jumat, 10 Desember.

Disisi lain, Ketua DPP Golkar itu menilai, masyarakat juga tidak perlu berlebihan menanggapi pendapat dari luar Indonesia.

Sebab, Indonesia berdaulat atas produk hukum yang dibuat. Namun, dia juga memahami bahwa tak sepatutnya organisasi luar mengintervensi hukum di Indonesia.

"Tidak perlu lebay, terkait produk hukum KUHP baru. Kita tidak perlu berlebihan menyikapi suara-suara dari perwakilan organ LN di Indonesia, semisal pernyataan perwakilan PBB dan Dubes AS baru-baru ini. Tapi seyogyanya prinsip non-intervensi berlaku dan tidak sepatutnya perwakilan negara maupun organisasi internasional (mengurusi hal itu)," kata Meutya.

Sebelumnya, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyebut bagian-bagian dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) yang baru nampak tidak sesuai dengan kebebasan fundamental dan hak asasi manusia.

PBB menilai, perombakan menyeluruh termasuk larangan seks di luar nikah dan hidup bersama pasangan yang belum menikah, dianggap kelompok sipil merupakan ancaman besar bagi hak-hak komunitas LGBTQ di Indonesia.

PBB juga menyebut soal pembaruan untuk pelanggaran terkait penodaan agama. Sementara jurnalis berpotensi terkena jerat hukum kalau menerbitkan berita "yang dapat memicu keresahan".

"Beberapa pasal berpotensi mengkriminalisasi karya jurnalistik dan melanggar kebebasan pers," kata kantor PBB di Indonesia dalam sebuah pernyataan, Kamis, 8 Desember.

"Orang lain akan mendiskriminasi, atau memiliki dampak diskriminatif pada, perempuan, anak perempuan, anak laki-laki dan minoritas seksual, dan memperburuk kekerasan berbasis gender, dan kekerasan berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender," lanjut pernyataan itu.

Kemudian pasal lainnya berisiko "melanggar hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan dapat melegitimasi sikap sosial negatif terhadap anggota agama atau kepercayaan minoritas dan mengarah pada tindakan kekerasan terhadap mereka".

PBB menyatakan, pembaharuan ini diyakini akan membuat lebih berisiko bagi pasangan sesama jenis untuk hidup bersama secara terbuka. Kelompok HAM sebelumnya menganggap kelompok LGBTQ+ telah menghadapi diskriminasi yang meluas dan terdampak peraturan yang anti terhadap lingkaran tersebut.