JAKARTA - Sosialisasi norma serta pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang (UU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan tanggung jawab dari semua pihak, tidak terkecuali oleh kalangan akademisi yang berada di lingkungan kampus.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), melalui Direktorat Jenderal Informasi Komunikasi Publik (Ditjen) IKP menggelar kegiatan “Sosialisasi KUHP” di berbagai Kabupaten / Kota dan melibatkan perguruan tinggi di Indonesia. Salah satunya, bekerja sama dengan Universitas Sriwijaya (Unsri), Palembang, untuk meningkatkan pemahaman soal KUHP baru yang telah sah tanggal 6 Desember lalu.
Sudah Saatnya Pembaruan
Wakil Dekan 1 Fakultas Hukum Unsri, Mada Apriandi menjelaskan seluruh elemen masyarakat wajib mengetahui serta memahami seluruh isi pasal dan norma yang ada dalam dalam KUHP. Sosialisasi di kalangan akademisi perlu dilakukan untuk memastikan kebenaran info terkait KUHP yang banyak beredar di media sosial.
"Menjadi kewajiban kita bersama, tidak hanya pemerintah untuk memberikan pemahaman yang benar tentang KUHP ini," ujar Mada dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi.
Dalam sambutannya, Mada melanjutkan bahwa RUU KUHP, merupakan RUU terlama yang dibahas oleh DPR hingga disahkan. Ia menambahkan bahwa KUHP lama merupakan warisan kolonial dan UU yang paling lama berlaku di Indonesia. Sudah saatnya, norma yang ada dalam KUHP warisan Belanda perlu mendapat pembaharuan di KUHP produksi anak bangsa.
"Namun, apapun juga aturan yang dibuat oleh manusia tidak ada yang sempurna. Oleh karenanya, ketika kita menyambut baik sosialisasi yang disampaikan oleh Kominfo. Karena, suatu rancangan UU memang perlu diperdebatkan juga," ungkapnya.
Proses Panjang
Pada kesempatan yang sama, Direktur Informasi dan Komunikasi Politik Hukum dan Keamanan, Kemenkominfo, Bambang Gunawan menjelaskan bahwa penyusunan RUU KUHP telah melewati rentetan proses yang panjang. Perjalanannya melibatkan beberapa rezim pemerintahan dan permasalahan yang kian kompleks. Dirinya menegaskan, saat ini bangsa Indonesia patut berbangga karena telah berhasil melahirkan produk KUHP sendiri.
"Indonesia kini memiliki produk hukum buatan bangsa yang berlandaskan Pancasila. Pengesahan KUHP pada 6 Desember kemarin, merupakan momen bersejarah dalam penyelenggaraan hukum pidana di Indonesia," jelasnya.
Pengesahan KUHP disampaikan Bambang, merupakan titik awal reformasi penyelenggaraan pidana di Indonesia yang sesuai dengan dinamika masyarakat saat ini. KUHP yang baru saja disahkan, telah melalui pembahasan secara transparan, teliti, dan partisipatif. Pemerintah dan DPR telah mengakomodasi berbagai masukan dan gagasan dari publik.
“Karenanya, kami mengucapkan terima kasih kepada masyarakat atas partisipasinya dalam momen bersejarah ini,” tegasnya.
Menurut Bambang, sosialisasi KUHP yang dilakukan Kemenkominfo merupakan tanggung jawab pemerintah, untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat soal KUHP baru. Upaya peningkatan pemahaman RUU KUHP telah berjalan sejak bulan Agustus berkolaborasi dengan Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Dan kini, terus berlanjut setelah KUHP baru disahkan.
BACA JUGA:
Menimbulkan Multitafsir
Akademisi Fakultas Hukum Unsri, Ruben Achmad, lewat paparannya menjelaskan meski KUHP telah disahkan menjadi UU, perdebatan pasal-pasal krusial tetap terjadi di masyarakat. Perdebatan pasal-pasal tersebut, mayoritas terdapat di buku kedua KUHP. Menurutnya, beberapa pasal memiliki potensi bahaya yang menimbulkan multitafsir dari penerapan KUHP.
"Salah satu contohnya pasal 188 dan 189 KUHP, tentang pengaturan pidana 4 tahun penjara bagi penyebar paham Komunisme dan Leninisme. Potensi bahaya adalah hukum pidana tentang penghinaan seharusnya tidak boleh untuk melindungi sesuatu yang bersifat abstrak dan subjektif," ujar Ruben.
Ruben juga menyinggung pengaturan pasal 218 dan 291 tentang serangan terhadap kehormatan harkat dan martabat presiden serta wakilnya. Menurut Ruben, pengaturan dalam pasal tersebut belumlah sempurna. Ia menyampaikan bahwa perubahan sebagai delik aduan, tidak menghilangkan masalah anti demokrasi.
"Itu beberapa contoh pasal yang terus menerus diperdebatkan di masyarakat. Tapi tidak apa-apa. Karena kalau tidak, kapan kita punya KUHP produk nasional. Kalau masih ada yang tidak puas dengan yang dibuat ini, silakan menggunakan jalur yang sudah resmi," ujarnya.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Profesor Topo Santoso, juga memberikan paparan soal pembaruan KUHP. Menurutnya, pembaharuan hukum pidana memang dibutuhkan. Lewat KUHP baru, kini diatur 3 pilar hukum pidana mulai dari tindak pidana, tanggung jawab pidana, serta pidana dan pemidanaan.
"Buku I KUHP, banyak sekali pembaruan doktrin yang dulu zaman Belanda belum diatur. Tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana diatur dalam BAB II KUHP," jelasnya.
Profesor Topo juga menjelaskan bahwa KUHP baru mengatur jelas tentang alasan ‘pemaaf’ yang dapat meringankan hukuman pidana dari seseorang. Dalam pasal 40 diatur bahwa pertanggungjawaban pidana tidak dapat dikenakan terhadap anak yang pada melakukan tindak pidana belum berumur 12 tahun.
Ia juga menegaskan bahwa tim penyusun KUHP telah mengikuti asas atau teori dalam kriminalisasi hukum pidana, yang harus lex scripta, serta lex certa yang jelas dan tegas. KUHP disusun berdasarkan perdebatan satu ketentuan pidana yang mempertimbangkan pemidanaan seseorang dengan mudah atau tidak.
"Kita menghindarkan orang terjerat dari aturan pidana. Termasuk memuat ketentuan-ketentuan yang bukan delik biasa. Tapi aduan. Untuk mengurangi kemungkinan itu," ujarnya.
Pidana Khusus
Turut melengkapi, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Jember, I Gede Widhiana menjelaskan pengaturan tindak pidana khusus diatur dalam Bab 35. Bab tersebut mengatur mengenai 5 kategori pidana khusus seperti tindak pidana berat terhadap hak asasi manusia, tindak pidana terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan tindak pidana narkoba.
"Tidak semua yang diatur dalam UU sektoral akan hilang ketika masuk dalam tindak pidana khusus KUHP. Publik mempertanyakan, bagaimana dengan UU Tipikornya [Tindak Pidana Korupsi]? Perlu saya sampaikan bahwa, UU Tipikor tidak hilang karena pengaturan tindak pidana khusus," ungkapnya.
Sosialisasi KUHP yang berlangsung secara hybrid ini telah diikuti oleh 547 peserta daring dan 100 peserta luring. Lewat kegiatan ini, diharapkan dapat meneruskan informasi terkait penyesuaian KUHP kepada elemen-elemen publik.
Di hari yang sama (8/12), Sosialisasi KUHP juga berlangsung di Universitas Internasional Batam dan turut mengundang para ahli. Harapannya, sosialisasi yang dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia ini dapat meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya keberadaan KUHP baru, agar lebih sesuai dengan dinamika masyarakat yang ada saat ini.