Bagikan:

JAKARTA - Sebanyak 28 negera menyetujui resolusi yang menentang kebencian agama dalam pemungutan suara di Dewan HAM PBB, sementara Amerika Serikat dan sekutunya termasuk dalam 12 negara yang menolak sementara tujuh lainnya abstain.

Rancangan resolusi ini diusulkan oleh Pakistan dan Palestina, menyerukan kepada negara-negara untuk mengambil mengambil langkah guna "mencegah dan mengadili tindakan dan advokasi kebencian agama yang merupakan hasutan untuk diskriminasi, permusuhan atau kekerasan", seperti mengutip The National News 12 Juli.

Usulan resolusi itu tidak terlepas dari pembakaran Al-Qur'an di Swedia yang dilakukan oleh imigran Irak, setelah sebelumnya mendapat izin dengan dalih kebebasan berekspresi, meski kepolisian setempat sempat melarang.

Keduabelas negara yang menolak resolusi ini yakni Belgia, Kosta Rika, Republik Ceko, Finlandia, Prancis, Jerman, Lithuania, Luksembrug, Montenegro, Rumania, Inggris dan Amerika Serikat.

Sementara mereka yang abstain yakni Benin, Chili, Georgia, Honduras, Meksiko, Nepal, Paraguay.

Kepala Hak Asasi Manusia PBB Volker Turk menyoroti batas antara kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap keyakinan agama.

Ia menyerukan penghormatan terhadap "semua orang", termasuk para migran dan mereka yang mengenakan jilbab.

Dikatakannya, pembakaran Al-Qur'an baru-baru ini tampaknya merupakan pertunjukan intoleransi yang dibuat-buat untuk "mengadu domba" di antara manusia.

"(Pembakaran Al-Qur'an) tampaknya telah dibuat untuk mengekspresikan penghinaan dan mengobarkan kemarahan, untuk mendorong perpecahan di antara orang-orang dan memprovokasi untuk mengubah perbedaan perspektif menjadi kebencian dan mungkin kekerasan," kata Turk.

Dikatakannya, masyarakat harus menunjukkan rasa hormat kepada "semua orang" dan menegaskan "advokasi kebencian yang merupakan hasutan untuk melakukan kekerasan, diskriminasi, dan permusuhan harus dilarang di setiap negara".

Turk juga mengatakan, ujaran kebencian dalam berbagai bentuk sedang meningkat, bahkan ketika ujaran tersebut tidak selalu dianggap menghasut kekerasan.

"Merendahkan martabat perempuan dan menyangkal kesetaraan mereka dengan laki-laki; melecehkan perempuan Muslim dan gadis-gadis yang mengenakan jilbab secara verbal; mencemooh penyandang disabilitas; membuat klaim yang salah bahwa para migran atau orang-orang dari etnis tertentu lebih mungkin terlibat dalam kejahatan, semua ujaran kebencian semacam itu serupa dalam hal ini karena berasal dari anggapan dasar bahwa beberapa orang kurang layak dihormati sebagai manusia," paparnya.

Selama perdebatan, beberapa negara Barat mengutuk intoleransi namun menegaskan hak kebebasan berekspresi. Sebaliknya, beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam menginginkan pemerintah berbuat lebih banyak untuk melarang ekspresi intoleransi agama yang dapat mengarah pada kekerasan.

"Kami ingin menekankan, kebebasan berekspresi adalah nilai etis yang seharusnya menyebar untuk hidup berdampingan secara damai, bukannya menyebabkan benturan peradaban," ujar Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan,

"Kita harus menyebarkan nilai-nilai toleransi," tandasnya.

Sementara itu, Amerika Serikat mengatakan mereka tidak akan mendukung resolusi tersebut karena kekhawatiran, itu dapat menginjak-injak hak fundamental atas kebebasan berekspresi.

"Kami tahu dari pengalaman bahwa upaya untuk melarang ekspresi semacam itu, biasanya justru semakin memperkuatnya dengan menarik lebih banyak perhatian terhadapnya dan sering kali menjadi katalisator kebencian lebih lanjut," ujar Rashad Hussain, duta besar AS untuk kebebasan beragama internasional, yang menyatakan penolakan AS terhadap apa yang disebut sebagai undang-undang penistaan agama.

"Undang-undang semacam itu juga gagal mengatasi penyebab utama kefanatikan," katanya, dan sebaliknya menyerukan upaya untuk "menghidupkan kembali pendidikan dan dialog antar budaya antar agama untuk menghadapi ujaran kebencian".