Bagikan:

JAKARTA - Inggris mencatatkan kasus konfirmasi positif COVID-19 sebanyak 3.689.746 kasus dan angka kematian hingga 100.162 kasus, hingga Selasa 26 Januari. Ini menjadikan Inggris memiliki jumlah korban kematian tertinggi kelima di dunia.

Angka kematian ini juga lebih tinggi dari korban masyarakat sipil Inggris yang tewas dalam Perang Dunia II, bahkan dua kali lipat dari jumlah korban akibat pemboman oleh NAZI Jerman pada tahun 1940-1941.

Ini membuat Perdana Menteri Inggris Boris Johnson meminta maaf sekaligus berbela sungkawa atas hilangnya nyawa masyarakat Inggris akibat COVID-19. Ia pun menyebut bertanggung jawab atas semua yang terjadi atas setiap kebijakan yang dilakukan pemerintah. 

“Sulit untuk menghitung kesedihan yang terkandung dalam statistik suram itu, tahun-tahun kehidupan yang hilang, pertemuan keluarga yang tidak dihadiri, dan begitu banyak kerabat kehilangan kesempatan, bahkan untuk mengucapkan selamat tinggal,” kata Perdana Menteri Boris Johnson, melansir Reuters

Sementara itu, para ahli menilai apa yang terjadi di Inggris saat ini, lantaran pemerintah belum belajar dari masa lalu dan masih menerapkan strategi yang kurang koheren.

Presiden Akademi Ilmu Kedokteran Inggris Prof. Anne Johnson mengatakan, ada korelasi yang jelas dengan pelonggaran pembatasan sebelum Natal dan lonjakan infeksi baru-baru ini.

"Varian baru itu penting dan lebih dapat ditularkan, tapi itu bukan satu-satunya penyebab gelombang ketiga. Mari kita perjelas," katanya melansir CNN, merujuk pada adanya varian baru virus corona.

Pernyataan ini terkait dengan 'izin' dari pemerintah untuk merayakan libur Natal bersama keluarga, pelonggaran penguncian, sehingga menyebabkan lonjakan infeksi.

"Tak terelakkan, jika Anda keluar dari kuncian pada tanggal 2 Desember, seperti yang kami lakukan, dengan orang-orang terdesak untuk pergi ke toko dan keluar dan berkeliling, dan kami punya waktu tiga minggu sebelum Natal. Itu jelas akan menjadi momen untuk melihat lebih banyak transmisi (penularan)," tukas Prof. Anne Johnson.