Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) batal melakukan pemeriksaan terhadap mantan Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ihsan Yunus hari ini. Plt Juru Bicara KPK bidang Penindakan Ali Fikri mengatakan Ihsan tak hadir karena belum menerima surat panggilan sebagai saksi.

"Rencananya pemeriksaan akan dijadwalkan kembali karena surat panggilan belum diterima oleh saksi," kata Ali dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 27 Januari.

Dalam pemeriksaan ini, Ihsan sebenarnya akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Adi Wahyono (AW) yang merupakan pejabat pembuat komitmen (PPK) di Kementerian Sosial.

Diketahui, saat menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi VIII DPR atau sebelum dirotasi ke Komisi II, nama Ihsan kerap dikaitkan dengan kasus suap bansos ini. 

Ada pun dalam kasus ini, tim penyidik telah memeriksa seorang pengusaha Muhammad Rakyan Ikram sebagai saksi kasus ini. Dalam pemeriksaan itu, tim penyidik mencecar Rakyan yang berdasarkan informasi merupakan adik Ihsan mengenai keikutsertakan perusahaannya menggarap paket-paket pekerjaan bansos untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020 di Kemsos. 

Tak hanya memeriksa sang adik, penyidik KPK juga telah menggeledah rumah orangtua Ihsan di Jakarta Timur. Dalam penggeledahan itu, tim penyidik menyita alat komunikasi dan sejumlah dokumen yang terkait dengan kasus dugaan suap pengadaan bansos.

Tak tertutup kemungkinan pemeriksaan hari ini dilakukan tim penyidik untuk menginformasi barang-barang yang telah disita dan keterkaitan Ihsan dengan kasus suap bansos. Apalagi, Komisi VIII DPR yang memiliki ruang lingkup tugas salah satunya di bidang sosial dengan mitra kerja Kementerian Sosial.

Sebelumnya, KPK menetapkan sejumlah tersangka terkait dengan dugaan kasus korupsi bantuan sosial (bansos) paket sembako untuk pengananan COVID-19 di wilayah Jabodetabek termasuk Menteri Sosial non-aktif Juliari Batubara.

Selain Juliari, KPK juga menetapkan empat tersangka lainnya yaitu Pejabat Pembuat Komitmen di Kementerian Sosial (PPK) MJS dan AW sebagai penerima suap serta AIM dan HS selaku pemberi suap.

Kasus ini berawal ketika Juliari menunjuk dua pejabat pembuat komitmen (PPK) Matheus Joko Santoso dan Adi dalam pelaksanaan proyek ini dengan cara penunjukan langsung para rekanan.

KPK menduga disepakati adanya fee dari paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial. Adapun untuk fee setiap paket bansos COVID-19 yang disepakati Matheus dan Adi sebesar Rp10 ribu dari nilai sebesar Rp. 300 ribu.

Matheus dan Adi kemudian membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa supplier sebagai rekanan penyediaan bansos pada Mei-November 2020. Rekanan yang dipilih adalah AIM, HS, dan PT Rajawali Parama Indonesia alias PT RPI yang diduga milik Matheus dan penunjukannya diketahui Juliari.

Pada pendistribusian bansos tahap pertama diduga diterima fee Rp. 12 miliar. Matheus memberikan sekitar Rp. 8,2 miliar secara tunai kepada Juliari melalui Adi yang kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi.

Dalam operasi senyap ini, KPK juga menyita barang bukti berupa uang yang sudah disiapkan dari pemberi suap yakni AIM dan HS di salah satu apartemen di Jakarta dan Bandung. Uang Rp. 14,5 miliar disimpan di sejumlah koper dan tas serta terdiri dari pecahan rupiah dan uang asing.