Bareskrim Bongkar TPPO Modus Mahasiswa Magang Politeknik Sumbar
Bareskrim Polri (VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Bareskrim Polri membongkar Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus program magang ke Jepang. Kasus ini melibatkan politeknik di Sumatra Barat (Sumbar).

"TPPO dengan modus program magang ke luar negeri yang mengakibatkan korban sebagai mahasiswa mengalami eksploitasi," ujar Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro kepada wartawan, Selasa, 27 Juni.

Terungkapnya TPPO ini berawal adanya laporan diterima KBRI Tokyo, Jepang. Pelaporan itu dilakukan oleh ZA dan FY yang menyebutkan mereka dan 9 mahasiswa lainnya diberangkatkan untuk magang tetapi justru dipekerjakan sebagai buruh.

Dalam pelaporannya, mereka juga menjelaskan tertarik mengikuti program magang itu karena diiming-imingi oleh Direktur Politeknik periode 2013-2018 berinisial D.

Kemudian, mereka akhirnya mendaftar pada 2019. Proses seleksi dijalani hingga akhirnya dinyatakan lulus.

"Sekira Tahun 2019 korban mendaftar untuk mengikuti program magang di Jepang selama satu tahun dan mengikuti seleksi di program studi dan seleksi di tingkat kampus atau akademik, dengan hasil seleksi bahwa korban lulus untuk mengikuti program magang di Jepang yang diputuskan oleh EH sebagai direktur pada salah satu politeknik periode 2018-2022," ungkapnya.

Selama satu tahun mereka menjalaninya. Namun, ada keanehan yang mereka rasakan. Sebab, mereka diharuskan bekerja selama 14 jam dari jam 08.00 sampai dengan 22.00 tanpa ada libur. Bahkan, hanya diberikan waktu 10-15 menit untuk istirahat.

"Di mana dalam aturan Permendikbud Nomor 03 Tahun 2020 di Pasal 19 yang isinya untuk pembelajaran 1 sks pada

proses pembelajaran berupa jamnya seharusnya 170 menit perminggu per semester," ujar Djuhandhani.

Selain itu, mereka juga diwajibkan untuk memberikan dana kontribusi ke kampus sebesar 17.500 yen atau setara Rp2 juta per bulan dari upah yang diterima sebesar 50.000 yen setara Rp5 juta.

Bahkan, saat meminta untuk dipulangkan, pihak politeknik justru mengancam akan mengeluarkan mereka.

"Setelah mengetahui hal itu korban menghubungi pihak politeknik untuk dipulangkan, namun justru korban diancam oleh politeknik apabila kerja sama politeknik dengan pihak perusahaan Jepang rusak maka korban akan di drop out (do)," kata Djuhandhani.

Ternyata, dari hasil penyidikan diperoleh fakta bahwa politeknik tersebut tidak memiliki izin untuk proses pemagangan di luar negeri.

Selain itu, politeknik dalam menjalankan program magang juga tidak memiliki kurikulum pemagangan di luar negeri. Lalu, menjalin kerja sama dengan pihak luar negeri dalam hal ini perusahaan di Tokyo-Jepang tanpa diketahui oleh pihak KBRI Tokyo.

Dengan temuan itu, EH dan G ditetapkan sebagai tersangka TPPO. Mereka dipersangkakan dengan Pasal 4 Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan TPPO. Dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara minimal 3 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp120 juta dan paling banyak Rp600 juta.

Lalu, Pasal 11 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan TPPO, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara minimal 3 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp120 juta dan paling banyak Rp600 juta.