Mengapa Dugaan Perdagangan Orang Berkedok Magang Terus Berulang?
Pelamar kerja memindai kode untuk melamar pekerjaan sebuah acara pameran pekerjaan pada Kamis (29/02) di Jakarta. (Antara)

Bagikan:

JAKARTA – Kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di mana ribuan mahasiswa menjadi korban sedang ramai dibahas. Magang seharusnya menjadi ajang untuk mendongkrak pengetahuan mahasiswa di bidangnya, bukan malah bekerja tanpa prosedural.

Baru-baru ini sebanyak 1.047 mahasiswa dari 33 universitas di Indonesia diduga menjadi korban eksploitasi kerja berkedok magang di Jerman pada Oktober sampai Desember 2023.

Direktur Tipidum Bareskrim Polri Brigjen Pol. Djuhandhani Rahardjo Puro mengatakan kasus ini terungkap berawal dari laporan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Jerman terkait empat mahasiswa yang mendatangi KBRI karena program magang tersebut.

Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Djuhandhani Rahardjo Puro saat memberikan keterangan di Gedung Bawaslu RI, Jakarta, Selasa (27/2/2024). (Antara/Rio Feisal/aa)

"Para mahasiswa dipekerjakan secara non-prosedural sehingga mengakibatkan mahasiswa tereksploitasi," kata Djuhandhani, disitat Antara.

Sebanyak lima orang telah ditetapkan sebagai tersangka, terdiri dari tiga orang perempuan dan dua laki-laki. Tersangka perempuan, yakni ER alias EW (39), A alias AE (37) dan AJ (52). Sedangkan laki-laki, inisial AS (65) dan MZ (60). Dua dari lima tersangka saat ini masih berada di Jerman (ER dan A). Beberapa dari tersangka merupakan pihak kampus.

Kasus ini menimbulkan pertanyaan banyak pertanyaan, mengapa periode magang yang seharusnya menjadi momen berharga bagi mahasiswa justru bisa menjadi celah terjadinya dugaan human trafficking?

Ferienjob Tak Masuk Program Kemenbudristek

Dikutip dari Kompas, modus penipuan dengan dugaan eksploitasi ini melibatkan dua perusahaan, yaitu PT CVGEN dan PT SHB. Keduanya mendatangi sejumlah kampur agar mahasiswa mengikuti program magang di Jerman.

Program magang ini disebut dapat dikonversi menjadi 20 satuan kredit semester (SKS) dan masuk ke dalam program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Tapi setelah ditelusuri lebih lanjut, program ini ternyata bukan magang, melainkan ferienjob yang merupakan kerja fisik paruh waktu saat musim libur.

Mereka yang mendapatkan kesempatan tersebut mengaku harus menandatangani dokumen dalam bahasa asing yang isinya sulit dipahami. Para mahasiswa juga harus membayar Rp6 juta untuk keberangkatan serta dana talangan Rp30-50 juta yang pengembaliannya dilakukan dengan memotong upah kerja tiap bulan.

Petugas kebersihan membersihkan tong sampah di Frankfurt, Jerman, 19 April 2023. (AP/Michael Probst)

Yang menjadi masalah, Kemenbudristek menegaskan MBKM justru tidak pernah bekerja sama dengan ferienjob. Bahkan sejak Oktober 2023, Ditjen Dikristek telah mengambil langkah soal isu ferienjob dengan mengeluarkan surat edaran No. 1032/E.E2/DT.00.05/2023 kepada seluruh perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Intinya, surat edaran tersebut meminta agar para kampus menghentikan keikutsertaan program ferienjob karena ditemukan banyak pelanggaran terhadap hak-hak mahasiswa.

Kasus ini membuat Guru Besar Hukum Pidana yang juga mantan Wakil Rektor Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Hibnu Nugroho buka suara. Menurutnya, kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) bekedok magang di Jerman sebenarnya bukan magang, melainkan praktik kerja lapangan yang diatasnamakan menjadi magang.

Padahal magang merupakan periode yang penting bagi pelajar sebelum terjun ke dunia kerja. Karena internship atau magang adalah suatu program belajar sekaligus berlatih bekerja dengan cara langsung pada sebuah perusahaan selama beberapa waktu.

Ilustrasi - Orang-orang dan sebuah trem terlihat setelah salju turun di Frankfurt, Jerman. (Antara/Xinhua/Zhang Fan/aa)

Magang ke luar negeri umumnya menarik minat pelajar maupun mahasiswa. Karena selain pengalaman bekerja, magang di luar negeri juga dimanfaatkan sebagai momen jalan-jalan yang dibayar.  

Sayangnya, konsep magang yang tidak jelas akhirnya banyak menimbulkan pertanyaan dan menyebabkan banyak orang, termasuk akademisi dinilai kurang paham sehingga kasus seperti ini terjadi.

“Magang sebetulnya mengarahkan mahasiswa di suatu pekerjaan. Misalnya mahasiswa hukum magang, ya diarahkan menjadi notaris, menjadi pengacara, hakim, dan sebagainya. Sementara dalam kasus ini, mahasiswa tidak diarahkan sama sekali,” ungkap Hibnu, mengutip Kompas.

Pola Lama Terus Berulang

Kasus dugaan TPPO dengan modus magang bukan hanya kali ini saja terjadi. Pada pertengahan tahun lalu, Bareskrim Polri menetapkan dua mantan direktur sebuah politeknik di Sumatra Barat sebagai tersangka kasus dugaan TPPO dengan mengirimkan mahasiswa magang ke Jepang.

Alih-alih magang, saat itu para mahasiswa bekerja selama 14 jam setiap hari, tanpa ada libur, dan hanya diberikan waktu makan maksimal 15 menit. Kasus tersebut terbongkar ketika dua orang mahasiswa yang menjadi korban melapor dugaan kerja sebagai buruh ke KBRI Tokyo, Jepang.

Saat itu, Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto mengatakan praktik pemagangan muncul salah satunya disebabkan tawaran gaji yang besar dari luar negeri di tengah sulitnya mencari pekerjaan di dalam negeri.

Promosi Ferienjob in Germany di media sosial. (Tempo)

Sebelumnya, pada 2017, Migrant Care menangani kasus TPPO serupa di Kendal, ketika siswa-siswa di sebuah SMK direkrut untuk kerja di perusahaan Malaysia.

Melihat kasus serupa yang kerap berulang, aktivis Migrant Care Siti Badriyah mengatakan apa yang terjadi Jerman adalah pola lama.

“Itu kasus polanya sudah lama, ya. Kalau dulu-dulu itu kan ke Jepang. Kemudian setelah itu Taiwan,” ujar Siti .

“Iming-iming magang yang bisa dikonversi dengan sejumlah SKS. Menggiurkan memang, magang dapat duit tapi dihitung kuliah. Memang TPPO itu iming-imingnya menggiurkan,” sambungnya.