Bagikan:

JAKARTA – Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi Indonesia akan mengalami La Nina setelah periode El Nino berakhir. La Nina berpotensi meningkatkan risiko hujan ekstrem sehingga merugikan lahan pertanian. Bagaimana nasib harga beras tahun ini?

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengungkapkan Indonesia akan mengalami La Nina setelah fenomena El Nino yang akan segera menjadi netral pada Mei-Juni mendatang. Berakhirnya El Nino menyebabkan suhu muka laut (SML) di Samudera Pasifik bagian tengah mengalami pendinginan atau dikenal dengan La Nina.

National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) juga menjelaskan selama beberpa bulan terakhir El Nino melemah. Laut bahkan menjadi lebih dingin dari suhu rata-rata pada bulan Februari. Kondisi ini sekaligus menambahkan keyakinan bahwa La Nina akan segera datang. BMKG memprediksi La Nina akan muncul mulai Juli 2024, namun melemah pada Juli-September.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati. (Antara/Sigid Kurniawan)

"La Nina berpotensi menjadi lemah setelah triwulan ketiga yaitu Juli, Agustus, September 2024," tutur Dwikorita.

Berbeda dengan El Nino yang membawa dampak kekeringan, La Nina membuat Indonesia menjadi lebih basah. Ini lantaran hujan akan lebih sering terjadi sehingga menimbulkan dampak lain seperti risiko banjir, suhu udara lebih rendah di siang hari, hingga banyak badai tropis.

Berpotensi Sebabkan Banjir

Fenomena El Nino sudah menyita atensi masyarakat Indonesia sejak pertengahan tahun lalu. Menurut BMKG, El Nino menunjukkan anomali suhu permukaan laut (SST) di khatulistiwa Samudera Pasifik bagian timur dan tengah yang lebih panas dari normalnya, sekitar 0,5 derajat Celcius atau lebih. Dampak El Nino adalah berkurangnya curah hujan di Indonesia serta suhu yang menjadi lebih panas dari biasanya.

La Nina bisa dibilang kebalikan El Nino. La Nina adalah anomali suhu di wilayah yang sama, tapi lebih dingin dari normalnya, sekitar -0,5 derajat atau lebih. Bagi Indonesia, La Nina menyebabkan hujan menjadi lebih sering terjadi, sehingga menyebabkan risiko banjir, suhu udara lebih rendah di siang hari, dan lebih bayak badai tropis.

Sementara itu, dikutip Ocean Service, La Nina dalam bahasa Spanyol artinya Gadis Kecil. La Nina juga dalam beberapa konteks kadang disebut El Viejo atau anti-El Nino atau Peristiwa Dingin.

Selama La Nina perairan di lepas Pantai Pasifik menjadi lebih dingin dan mengandung lebih banyak nutrisi dari biasanya. Lingkungan seperti ini mendukung lebih banyak kehidupan laut dan menarik lebih banyak spesies perairan dingin seperti cumi-cumi dan salmon ke tempat seperti Pantai California.

Dampak Terhadap Harga Pangan

Seiring dengan pengumuman prediksi terjadinya La Nina, BMKG juga membeberkan dampaknya bagi sejumlah sektor, termasuk pertanian. Fenomena La Nina yang menyebabkan peningkatan curah hujan di berbagai wilayah diyakini bakal berdampak pada komoditas pangan. Curah hujan tinggi bisa menyebabkan banjir yang yang merendam lahan pertanian maupun merusak tanaman, sehingga berpotensi menyebabkan kerugian besar bagi petani.

Seperti diketahui bersama, badai El Nino tahun lalu membuat produksi beras dan gabah menurun. Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan mencatat produksi padi dan luas panen terus menyusut, yang artinya produktivitas menurun. Hal ini sempat membuat pemenuhan dalam negeri terganggu sehingga memaksa Indonesia mengimpor beras dalam jumlah beras.

Menurut catatan BPS, beras menjadi salah satu komoditas impor terbesar sepanjang 2023 yang mencapai 3,06 juta ton. Padahal dalam empat tahun berturut-turut sebelumnya, impor beras Indonesia bahkan tidak mencapai setengah juta ton.

La Nina berpotensi menyebabkan curah hujan ekstrem. (The Strait Times)

El Nino diyakini ikut berperan dalam meroketnya harga beras belakangan ini. Harga beras premium lokal di pasar tradisonal bahkan sempat menembus angka Rp19.000 per kg, berdasarkan temua Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan di pasar Kramat Jati, Jakarta Timur pada pertengahan Maret ini.

Bukan tidak mungkin, harga bahan pokok juga terus merangkak akibat fenomena La Nina. Padahal Indonesia sendiri masih terus berusaha menstabilkan harga beras menyusul merosotnya hasil panen akibat El Nino. Karena itulah, potensi La Nina diyakini akan berdampak pada sektor pertanian, terutama produk holtikultura.

“Bagi padi mungkin jadi lebih baik, tapi holtikultura kalau curah hujan berlimpah tentu akan berdampak,” kata Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG Supari.

Pedagang menarik gerobaknya melintasi banjir di kawasan permukiman Jalan Gading Asri III, Kelapa Gading, Jakarta, Jumat, (22/3/2024). (Antara/Erlangga Bregas Prakoso/tom)

Hal ini senada dengan pendapat yang disampaikan Pengamat Pertanian Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian. Ia mengatakan, kehadiran La Nina dipastikan akan berdapak kembali pada sektor pangan terutama produk holtikultura seperti cabai, bawang merah, hingga tomat.

"Tanaman ini tidak tahan dengan genangan dan akan mudah busuk, dan berkembang penyakit hingga gagal panen," kata Eliza.

BMKG juga sudah memperingatkan sektor pertanian agar waspada terhadap fenomena La Nina karena akan memicu kondisi lebih basah dibandingkan kondisi normal. Meningkatnya risiko hujan ekstrem juga berbanding lurus dengan potensi kerugian di sektor pertanian. Mulai dari lahan yang terendam banjir, potensi berkembangnya hama dan penyakit tanaman.

Presiden Joko Widodo saat mengunjungi Pasar Sebukit Rama, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat (Kalbar), Rabu (20/3/2024). (Antara/HO-Muchlis Jr-Biro Pers Sekretariat Presiden)

Selain risiko gagal panen, banjir juga bisa membuat distribusi pangan cenderung terganggu karena jalan yang terkena banjir tak bisa diakses. Akibanya, pengiriman terganggu bahkan bisa molor akibat banjir. Tersendatnya pengiriman membuat stok di pasar berkurang sehingga pedagang menjual dengan harga tinggi. Akibatnya, harga berbagai pangan pun akan terkerek naik.