PRAHA – Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengimbau KBRI agar lebih masif dalam sosialisasi tentang upaya Indonesia melakukan reforestasi dan pengurangan emisi karbon sesuai target menuju net zero emission tahun 2060.
Hal itu disampaikan LaNyalla ketika memimpin delegasi Senator DPD RI bertemu Duta Besar Indonesia untuk Republik Ceko, Kenssy Dwi Ekaningsih dan para diplomat Indonesia di Wisma Dubes di Praha, Rabu 17 Mei.
“Maka yang bisa kita lakukan dengan Uni Eropa, adalah mendorong pengembangan sumber-sumber energi terbarukan di Indonesia seperti hydro power, wind power, ocean power, solar power, biomassa, dan seterusnya. Juga mengembangkan ekonomi sirkular, menggunakan teknologi dan modal dari negara-negara Eropa dalam kerjasama yang saling menguntungkan,” kata LaNyalla.
Pelestarian Lingkungan
Ditambahkannya, Indonesia terus berupaya memperbaiki penegakan hukum dan HAM serta pelestarian lingkungan. Tapi pada 6 Desember 2022, Uni Eropa mengesahkan Undang-Undang Komoditas Bebas Deforestasi atau EU Deforestation Regulation (EUDR) yang tak hanya menghalangi ekspor CPO Indonesia, namun berdampak pada ekspor kedelai, kopi, kakao, kayu, karet, serta coklat dan furniture.
“Karena itu Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) dengan Uni Eropa perlu segera difinalkan untuk mengatasi hambatan ekspor produk-produk kita ke Eropa. Kepentingan kita adalah agar ada keadilan dalam perdagangan bebas, karena menyangkut hajat hidup puluhan juta masyarakat di berbagai daerah Indonesia,” ujar Senator Jawa Timur ini.
“Kalau mau adil maka sebagaimana produk-produk asing beredar bebas di Indonesia, seperti itu juga seharusnya produk-produk kita bisa beredar bebas di Eropa. Jadi jangan dipolitisir dengan berbagai alasan. Sebab yang pertama merusak hutan dunia bukan kita, tetapi negara-negara Eropa, sejak era Revolusi Industri sampai sekarang,” imbuhnya.
AA LaNyalla Mahmud Mattalitti juga berpesan agar kekompakan sebagai bangsa juga harus dijaga. Dengan cara menyingkirkan semua bentuk ketidakadilan khususnya di bidang politik dan ekonomi.
“Negeri kita sangat kaya tetapi banyak rakyatnya masih miskin. Ini akibat salah kelola sejak dari puluhan tahun lalu. Sekarang diperparah dengan cengkraman oligarki ekonomi yang mendukung dan didukung oleh oligarki politik,” tegasnya.
Pangkal masalahnya, menurut LaNyalla, adalah amandemen konstitusi 1999 sampai 2002 yang telah mengubah sebagian besar konstitusi kita, sehingga bukan lagi UUD 1945 melainkan UUD 2002.
Akibatnya, undang-undang yang dicetuskan sejak 2002 diarahkan untuk memenuhi kepentingan oligarki politik dan oligarki ekonomi. APBN yang semakin besar dari tahun ke tahun pun tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan rakyat.
“Inilah sebabnya dalam berbagai kesempatan selalu saya menyerukan agar kita kembali ke Naskah Asli UUD 1945. Hari ini pun saya ingin mengulangi lagi bahwa untuk menyelamatkan negeri kita, maka kita harus kembali ke Naskah Asli UUD 1945, lantas melakukan addendum untuk hal-hal yang perlu disempurnakan,” ucapnya.
BACA JUGA:
Di bidang politik, lanjutnya, yang dibutuhkan adalah Demokrasi Pancasila, bukan Demokrasi Liberal seperti sekarang. Di bidang ekonomi, yakni sistem ekonomi inklusif sesuai Pasal 33 UUD 1945, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bukan ekonomi eksklusif yang hanya menguntungkan segelintir orang. Di bidang hukum, adalah rasa keadilan di hati masyarakat, bukan hanya kepastian hukum di mata penegak hukum.
“Semua masalah itu perlu diatasi agar kondisi bangsa kita bisa semakin baik ke depan,” kata AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, yang memimpin delegasi Komite I DPD RI untuk melakukan studi referensi dan bertukar pengalaman tentang perumusan rancangan undang-undang mengenai hubungan pemerintah pusat dengan daerah dan tata kelola pemerintahan daerah, serta desain kota metropolitan di Ceko.
Delegasi Senator dari Komite I DPD RI itu terdiri dari Habib Abdurrahman Bahasyim (Wakil Ketua Komite I) asal Kalimantan Selatan, Dailami Firdaus (DKI Jakarta), Ajiep Padindang (Sulawesi Selatan), Abdul Rachman (Sulawesi Tengah), Andi Nirwana Sebbu (Sulawesi Tenggara), Misharti (Riau), Maria Goreti (Kalimantan Barat), Cherish Harriette (Sulawesi Utara), Oni Suwarman (Jawa Barat), Muhammad Syukur (Jambi), Abdurrahman Abubakar Bahmid (Gorontalo), Husain Alting (Maluku Utara), Alirman Sori (Sumatera Barat), Andi Muh Ihsan (Sulawesi Selatan), dan Sekretaris Jenderal DPD RI Rahman Hadi.