Faksi yang Bertikai di Sudan Sepakat Lindungi Warga Sipil dan Bantuan Kemanusiaan, Tapi Belum Soal Gencatan Senjata
Penandatanganan deklarasi faksi yang bertikai di Sudan. (Twitter/@WatchTowerGW)

Bagikan:

JAKARTA - Faksi-faksi yang bertikai di Sudan pada Hari Jumat pagi berkomitmen untuk melindungi warga sipil dan pergerakan bantuan kemanusiaan, tetapi belum menyetujui gencatan senjata dan tetap terpisah jauh, kata para pejabat Amerika Serikat.

Setelah pembicaraan selama seminggu di pelabuhan Jeddah, Arab Saudi, tentara Sudan dan Rapid Support Forces (RSF) paramiliter saingannya menandatangani sebuah deklarasi, mereka akan mengupayakan gencatan senjata jangka pendek dalam diskusi-diskusi lebih lanjut.

"Kedua belah pihak terpisah cukup jauh," kata seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri AS, yang berbicara tanpa menyebut nama, melansir Reuters 12 Mei.

Sebuah teks deklarasi yang dirilis setelah pembicaraan tersebut mengatakan, kedua faksi "berkomitmen untuk memprioritaskan diskusi untuk mencapai gencatan senjata jangka pendek untuk memfasilitasi pengiriman bantuan kemanusiaan darurat dan pemulihan layanan penting."

Sebuah pernyataan Departemen Luar Negeri AS mengatakan, kedua belah pihak akan fokus untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata yang efektif hingga sekitar 10 hari.

Para negosiator yang bekerja dengan mediator Arab Saudi dan AS selanjutnya akan membahas langkah-langkah keamanan khusus untuk melindungi pasokan bantuan, kata pejabat AS itu.

Pernyataan Departemen Luar Negeri AS mengatakan, langkah-langkah tersebut "akan mencakup mekanisme pemantauan gencatan senjata yang didukung oleh AS-Saudi dan internasional."

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Arab Saudi Faisal bin Farhan mengatakan dalam sebuah unggahan di Twitter, pembicaraan dan komitmen untuk melindungi warga sipil merupakan langkah awal, dan "langkah-langkah lain akan menyusul".

"Hal yang paling penting adalah mematuhi apa yang telah disepakati, dan Kerajaan akan bekerja hingga keamanan dan stabilitas kembali ke Sudan dan rakyatnya yang bersaudara," ujar Menlu Arab Saudi.

Tentara dan RSF mengatakan dalam perjanjian, mereka akan menjadwalkan "diskusi lanjutan untuk mencapai penghentian permusuhan secara permanen."

Pejabat AS mengatakan itu akan menjadi proses yang panjang untuk beralih dari gencatan senjata sementara, setelah disepakati, ke penghentian permusuhan secara permanen. Namun Washington berharap kesediaan kedua belah pihak untuk menandatangani deklarasi hari Jumat akan membangun momentum.

Kelompok-kelompok sipil diharapkan untuk berpartisipasi dalam pembicaraan nanti, kata pejabat AS.

Sementara, Pasukan untuk Kebebasan dan Perubahan, sebuah koalisi partai-partai politik yang mendukung pemerintahan demokratis, menyebut deklarasi tersebut sebagai "langkah pertama yang penting untuk mengakhiri perang" dan mendesak kedua belah pihak untuk mematuhinya.

Di depan umum, tidak ada pihak yang menunjukkan bahwa mereka siap untuk menawarkan konsesi untuk mengakhiri konflik yang meletus secara tiba-tiba bulan lalu, yang mengancam akan menjerumuskan Sudan ke dalam perang saudara, menewaskan ratusan orang dan memicu krisis kemanusiaan.

Perjanjian gencatan senjata sebelumnya telah berulang kali dilanggar, sehingga warga sipil harus menghadapi kekacauan dan pemboman yang menakutkan, listrik dan air yang tidak mengalir, makanan yang terbatas, dan sistem kesehatan yang runtuh.

Sementara itu, pejabat senior Departemen Luar Negeri mengatakan, deklarasi yang ditandatangani Jumat pagi berupaya meningkatkan aliran bantuan kemanusiaan dan memulai pemulihan layanan air dan listrik.

Mediator berharap akan memungkinkan "untuk mengatur penarikan pasukan keamanan dari rumah sakit dan klinik, dan untuk melakukan penguburan dengan hormat kepada orang mati," ujar pejabat itu.

Diketahui, Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan lebih dari 600 orang tewas dan lebih dari 5.000 terluka dalam pertempuran itu. Sedangkan Kementerian Kesehatan mengatakan sedikitnya 450 orang tewas di wilayah Darfur barat.

Banyak yang melarikan diri dari Khartoum dan Darfur, menyebabkan 700 ribu orang mengungsi di dalam negeri dan 150 ribu lainnya ke luar negeri, menurut angka PBB.