Sahamnya Akan Ditendang dari BEI, Bakrie Telecom Ternyata Punya Utang Rp9,6 Triliun
Ilustrasi. (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Entitas usaha Grup Bakrie di bidang telekomunikasi, PT Bakrie Telecom Tbk tengah ramai dibicarakan. Perusahaan bersandi saham BTEL ini berpotensi delisting, atau didepak sahamnya dari papan perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI).

Usut punya usut, perusahaan yang pernah memproduksi handphone Esia Hidayah ini juga menderita rugi dan utang berdasarkan kinerja per September 2020. Dalam laporan keuangan per September 2020 di laman BEI, Bakrie Telecom hanya mencatatkan pendapatan usaha Rp8,1 miliar, turun dari capaian Rp10,27 miliar per September 2019.

Tingginya beban usaha dan beban keuangan membuat Bakrie Telecom mencatatkan kerugian per September 2020 mencapai Rp60,17 miliar. Padahal per September 2019 mereka masih mencatatkan untung bersih Rp7,17 miliar.

Bakrie Telecom juga mencatatkan ekuitas negatif atau defisiensi modal neto sejumlah Rp9,67 triliun per September 2020. Namun, nilai itu masih lebih baik dibandingkan defisiensi modal Rp13,34 triliun per akhir tahun 2019.

Aset Bakrie Telecom pun hanya senilai Rp4,54 miliar, turun dari Rp11,23 miliar per akhir 2019.

Adapun saham BTEL sudah disuspensi hampir dua tahun berturut-turut. Dalam keterbukaan informasi di laman BEI, Selasa 19 Januari, otoritas bursa mengumumkan bahwa saham perusahaan yang pernah memproduksi handphone Esia ini sudah dibekukan dari perdagangan selama 20 bulan sejak 27 Mei 2019.

Pembekuan saham BTEL akan mencapai 24 bulan atau 2 tahun penuh pada 27 Mei 2021. Potensi delisting itu tertuang dalam Peraturan Bursa Nomor I-I tentang Penghapusan Pencatatan (Delisting) dan Pencatatan Kembali (Relisting) Saham.

Pada Ketentuan III.3.1.2 berbunyi BEI dapat menghapus saham perusahaan tercatat apabila saham perusahaan tercatat yang akibat suspensi di pasar reguler dan pasar tunai, hanya diperdagangkan di pasar negosiasi sekurang-kurangnya selama 24 bulan terakhir.

Susunan pemegang saham BTEL berdasarkan laporan keuangan per 30 Juni 2020 sebanyak 16,8 persen dipegang oleh PT Huawei Tech Investment, 13,6 persen dipegang PT Mahindo Agung Sentosa, 5,5 persen dipegang PT Era Bhakti Persada, 6 persen dipegang Raiffeisen Bank International s/a Best Quality Global Limited, 0,1 persen dipegang PT Bakrie & Brothers Tbk dan 58 persen tersebar di masyarakat.

Rugi Rp60,17 Miliar

Bakrie Telecom mencatatkan kerugian bersih senilai Rp60,17 miliar per September 2020. Capaian tersebut berbanding terbalik dengan periode 31 Desember 2019 lalu, di mana Bakrie Telecom berhasil mencetak keuntungan sebesar Rp7,17 miliar.

Pendapatan usaha yang terpangkas menjadi salah satu faktor yang membuat lengan bisnis Bakrie Group ini merugi. Bakrie Telecom membukukan pendapatan usaha bersih sebesar Rp3,04 miliar pada September 2020 atau 24,38 persen lebih rendah dari Desember 2019 lalu yang mencapai Rp4,02 miliar.

Dari bisnis jasa telekomunikasi dan teknologi informasi, Bakrie Telecom mencetak pendapatan kotor sebesar Rp8,10 miliar. Namun, capaian tersebut harus tergerus oleh beban pokok pendapatan yang angkanya menembus Rp5,07 miliar pada sembilan bulan pertama tahun 2020.

Pada dasarnya, Bakrie Telecom berhasil menekan signifikan rugi usaha, yakni dari yang awalnya Rp23,28 miliar pada Desember 2019 menjadi Rp7,68 miliar pada September 2020. Namun, pada saat yang sama beban keuangan mengalami pembengkakan hebat, yakni dari yang hanya Rp15 juta pada Desember 2019 menjadi Rp71,57 miliar pada September 2020.

Kondisi tersebut diperparah oleh laba selisih kurs yang justru merosot. Bakrie Telecom mencetak laba selisih kurs sebesar Rp195,83 miliar pada Desember 2019 dan kemudian turun menjadi Rp24,49miliar pada September 2020. Inilah yang kemudian memangkas keuntungan perusahaan hingga berujung mengalami kerugian yang besar.