Protes Penolakan Perubahan Pensiun Berujung Bentrok, Raja Charles Tunda Kunjungan ke Prancis
Raja Charles. (Wikimedia Commons/Dan Marsh)

Bagikan:

JAKARTA - Kunjungan kenegaraan Raja Charles dari Inggris ke Prancis pada Hari Minggu ditunda, kata Istana Elysee, setelah unjuk rasa menolak perubahan sistem pensiun yang dilakukan oleh Presiden Emmanuel Macron, berubah menjadi kekerasan di Paris dan kota-kota lain di Prancis.

Pihak Istana Elysee mengatakan, keputusan bersama diambil oleh Pemerintah Inggris dan Prancis, setelah serikat pekerja menyerukan pemogokan dan demonstrasi nasional selama kunjungan Raja Inggris tersebut.

Penundaan ini dinilai menjadi hal yang sangat memalukan bagi Presiden Macron, yang berharap kunjungan Raja Charles akan menandai langkah simbolis dalam upaya kedua negara, untuk membuka lembaran baru setelah hubungan yang buruk selama bertahun-tahun pasca-Brexit.

Sebelumnya, Raja Charles dijadwalkan untuk melakukan perjalanan kenegaraan pertama keluar negeri ke Prancis selama tiga hari, sebelum kemudian dilanjutkan ke Jerman.

"Kunjungan ini akan dijadwalkan ulang sesegera mungkin," kata Istana Elysee dalam sebuah pernyataan, melansir Reuters 24 Maret.

Sementara itu, sebuah sumber di Istana Buckingham mengatakan, kunjungan Raja Charles ke Jerman akan tetap berjalan sesuai rencana.

Diketahui, sejumlah orang berpakaian hitam terlibat bentrokan di jalanan dengan polisi selama beberapa jam di ibu kota Prancis pada Hari Kamis, menyerbu restoran McDonald's, menghancurkan halte bus dan membakar gundukan sampah yang menumpuk selama pemogokan.

Di Bordeaux, di jantung salah satu daerah penghasil anggur yang paling terkenal di Prancis dan tempat Raja Charles juga direncanakan untuk berkunjung, para pengunjuk rasa membakar pintu masuk ke balai kota.

Pembatalan rencana kunjungan Raja Charles, termasuk rencana perjamuan mewah di Istana Versailles, hanya akan menambah tekanan lebih lanjut pada Presiden Macron untuk menemukan jalan keluar dari krisis yang telah menyebabkan kerusuhan terburuk di Prancis, sejak pemberontakan 'Rompi Kuning' pada 2018/2019.

Kekerasan meningkat setelah Pemerintah Presiden Macron mendorong undang-undang untuk menaikkan usia pensiun dua tahun, menjadi 64 tahun, melalui parlemen tanpa pemungutan suara. Sementara, pemerintahannya tidak memiliki mayoritas yang dominan.