Bagikan:

JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Jaksa Pinangki Sirna Malasari dengan pidana penjara selama 4 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan.

Jaksa menilai, Pinangki terbukti bersalah dan meyakinkan menerima gratifikasi dalam pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) untuk Joko Tjandra. Untuk itu, Jaksa meminta hakim memutus Pinangki bersalah.

"(Menuntut supaya mejelis hakim) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dr Pinangki Sirna Malasari dengan pidana penjara selama 4 tahun penjara, dikurangi selama terdawa dalam masa tahanan," kata tim jaksa pada Kejaksaan Agung saat membacakan tuntutan Pinangki di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin,11 Januari.

Dalam tuntutannya, jaksa juga mempertimbangkan hal yang memberatkan dan memberatkan Pinangki. Hal yang memberatkan Pinangki dinilai tidak mendukung pemerintah untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme.

Sementara, yang meringankan Pinangki mengakui dan menyesali perbuatannya. Kemudian, jaksa juga mempertimbangan tentang anak Pinangki yang masih berusia 4 tahun.

"Hal-hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi, terdakwa masih mempunyai anak yang masih berusia 4 tahun," kata dia.

Sekadar informasi, dalam perkara ini Pinangki dinilai berperan besar dalam mengurus fatwa MA melalui Kejaksaan Agung agar Joko Tjandra yang merupakan buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali tak di eksekusi. Padahal, merujuk putusan PK No 12 Tanggal 11 Juni 2009 harus menjalani masa pidana dua tahun penjara.

Dalam prosesnya, mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan Dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejagung itu melakukan tiga kali pertemuan dengan Joko Tjandra pada November 2019 di Kuala Lumpur, Malaysia. Pertemuan pertama dilakukan bersama pengusaha bernama Rahmat yang mengenalkan Pinangki dengan Joko Tjandra.

Pada pertemuan berikutnya, Pinangki mengajak Rahmat dan Anita Kolopaking yang diperkenalkan kepada Joko Tjandra sebagai pengacara. Sebab, dalam prosesnya Joko Tjandra membutuhkan pengacara.

Sementara itu, pada pertemuan terakhir, Pinangki mengajak Anita dan pihak swasta bernama Andi Irfan Jaya. Dalam pertemuan tersebut, Pinangki dan Andi Irfan menyerahkan rencana aksi (action plan) kepada Joko Tjandra.

Meski demikian, rencana yang sudah disusun Pinangki dan Andi Irfan gagal. Sebab, Joko Tjandra menolak semua actoin plan tersebut.

JPU menjelaskan Pinangki telah menerima uang muka sebesar 500 ribu dolar Ameriksa Serika (AS) dari 1 juta dolar yang telah dijanjikan Joko Tjandra. Sebanyak 50 ribu AS di antaranya telah diserahkan kepada Anita sebagai biaya jasa hukum (legal fee) Joko Tjandra.

Dari 450 ribu dolar AS yang diperoleh, JPU mengatakan Pinangki telah menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dari hasil tindak kejahatan korupsi. Uang tersebut antara lain digunakan Pinangki untuk ditukarkan ke dalam rupiah, membeli satu unit mobil BMW X5, pembayaran sewa apartemen dan dokter kecantikan di Amerika Serikat, maupun membayar sewa dua apartemen di Jakarta.

Dengan rententan itu, Pinangki didakwa dengan tiga dakwaan, yaitu pertama dakwaan penerimaan suap sebesar 500.000 dolar AS (sekitar Rp7,4 miliar) dari terpidana kasus cessie Bank Bali Joko Soegiarto Tjandra. Sehingga dipersangkakan dengan Pasal 5 Ayat (2) juncto Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Tipikor subsider Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Kedua, dakwaan pencucian uang yang berasal dari penerimaan suap sebesar 444.900 dolar atau sekitar Rp6.219.380.900 sebagai uang pemberian Joko Tjandra untuk pengurusan fatwa ke MA. Dalam dakwaan ini, Pinangki dipersangkakan dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Ketiga, Pinangki didakwa melakukan pemufakatan jahat bersama dengan Andi Irfan Jaya dan Joko Tjandra untuk menyuap pejabat di Kejagung dan MA senilai 10 juta dolar AS. Sehingga, Pinangki dipersangkakan dengan Pasal 15 Juncto Pasal 13 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).