Bagikan:

JAKARTA - Terjadinya kenaikan kasus COVID-19 di Indonesia membuat pemerintah menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di Pulau Jawa dan Bali secara parsial di wilayah tertentu sejak 11 Januari mendatang hingga 25 Januari. Hanya saja, ada daerah yang merasa keberatan dengan pemberlakuan pembatasan ini dan salah satunya adalah Kota Surabaya.

Pelaksana tugas Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana merasa keberatan, kotanya masuk ke dalam salah satu daerah yang diminta pemerintah pusat untuk melakukan PPKM. Selain karena merasa jajarannya telah mampu mengendalikan pandemi COVID-19, dia merasa tak adil karena ada empat daerah di Provinsi Jawa Timur yang masuk ke dalam zona merah tapi tidak diminta melakukan pembatasan.

Selain itu, Whisnu menilai pembatasan ini harusnya dilakukan secara menyeluruh di Jawa Timur. Alasannya, jika hanya dilakukan secara parsial, dia khawatir rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang ada di wilayah yang membaik malah akan dijadikan rujukan dari daerah-daerah yang tidak melakukan pembatasan.

Sehingga, jika diperbolehkan memberikan usul, Kota Surabaya ingin agar pemerintah pusat tak menerapkan pembatasan ini.

"Kita juga masih ada waktu untuk mengusulkan hal ini ke pusat. Intinya kita akan berusaha yang terbaik untuk Kota Pahlawan," kata Whisnu di Surabaya, Jawa Timur, Kamis, 7 Januari.

Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengatakan, pembatasan kegiatan masyarakat di Pulau Jawa dan Bali sifatnya wajib. Karena itu, wilayah yang menolak melaksanakan pembatasan ini harus mengikutinya demi menekan laju penambahan kasus COVID-19 di Indonesia.

"Pihak mana pun yang menolak mengikuti kebijakan dari pusat untuk segera mengindahkan instruksi pemerintah karena bersifat wajib," katanya dalam jumpa pers secara daring yang digelar di akun YouTube Sekretariat Presiden.

Kebijakan melakukan pembatasan ini, kata dia, diambil oleh pemerintah pusat untuk mempercepat penanganan pandemi. Tak hanya itu, pembatasan ini telah dirancang untuk menyeimbangkan sektor kesehatan dan ekonomi.

Selain itu, kebijakan ini tak sembarangan diambil oleh pemerintah pusat. Kata Wiku, pemerintah telah memperhatikan beberapa indikator untuk menerapkan aturan ini seperti mempertimbangkan wilayah yang berzona merah dan menjadi kontributor tertinggi dalam peningkatan kasus COVID-19 di Tanah Air.

Ilustrasi tentang PSBB Jawa-Bali (VOI)

Perlu duduk bersama

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah menilai, pemerintah pusat dan daerah harusnya duduk bersama untuk saling berkoordinasi dan kolaborasi. Selain itu, keduanya harus duduk bersama untuk saling mendengar perihal kebutuhan satu sama lain karena masing-masing daerah tentu punya perbedaan.

Tak hanya itu, pemerintah pusat juga dianggap Trubus harus membuka komunikasi secara intens dan menjelaskan mengenai pembatasan parsial di Pulau Jawa-Bali ini. Sebab, sebelumnya pemerintah pusat telah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

"Pembatasan masyarakat ini kalau mau diterapkan harus dijelaskan (secara menyeluruh, red) kalau ini berbeda dengan PSBB, misalnya. Karena sebelumnya kan ada PSSB kemudian pembatasan ini, jadi jangan kan daerah, masyarakatnya pun pasti beda-beda memahaminya dan ini akhirnya menjadi sesuatu yang membingungkan," kata Trubus saat dihubungi VOI.

Kalau pemerintah pusat tidak mau duduk bersama, maka rasa keberatan seperti yang disampaikan oleh Kota Surabaya menjadi hal yang wajar.

Selain itu, Trubus juga menilai sebaiknya pembatasan ini dilakukan secara serentak bukan secara parsial seperti yang sekarang dilakukan. Sepakat dengan alasan Kota Surabaya, dia menilai, jika pembatasan ini hanya dilakukan di daerah tertentu bukan tak mungkin daerahh yang sudah terkendali justru mendapat limpahan pasien COVID-19.

"Pembatasan ini kalau mau serentak, ya serentak saja semuanya. Hanya saja, pemerintah harus melakukan koordinasi, kolaborasi supaya masyarakat bisa dikendalikan. Kan pas libur Natal dan tahun baru bisa tuh berkoordinasi," ungkapnya.

Jika nantinya masih ada kepala daerah yang membandel atau bersikeras tak mau menjalankan pembatasan ini maka Trubus menilai, merujuk dari Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020, kepala daerah tersebut bisa dikenai sanksi atau diberhentikan. "Kalau memang ada kepala daerah yang tidak mau menjalankan ini, bisa nantinya dikenai sanksi bahkan bisa dicopot," katanya.

"Tapi kan kembali lagi, semua pihak memang harus duduk bersama, supaya mengetahui kebutuhan tiap-tiap daerah. Karena untuk melakukan pembatasan ini juga infrastruktur, kelengkapan alat-alat. Serta mungkin anggaran, apalagi mereka sudah dihadapkan dalam situasi COVID-19 selama setahun. Ini artinya anggarannya juga mungkin sudah menipis, kesulitan karena pemasukan dari sektor yang dibatasi ya tidak ada. Jadi keberatan, penolakan akan terus ada. Bahkan ujungnya, bisa saja membangkang," imbuhnya.

Sebelumnya, Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Airlangga Hartarto mengumumkan pemerintah pusat memutuskan melakukan pembatasan kegiatan masyarakat di sejumlah wilayah di Pulau Jawa dan Bali selama dua pekan.

Adapun wilayah di Jawa dan Bali yang melakukan pembatasan aktivitas ialah Jakarta dan sekitarnya, yaitu meliputi DKI Jakarta, Bogor, Kabupaten Bogor, Depok, Bekasi dan Kabupaten Bekasi. Kemudian di Banten meliputi Tangerang, Kabupaten Tangerang, Tangerang Selatan dan Tangerang Raya. Di Jawa Barat di luar Jabodetabek meliputi Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cimahi.

Di Jawa Tengah adalah Semarang Raya, Solo Raya dan Banyumas Raya. DI Yogyakarta meliputi Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Sleman dan Kulon Progo. Di Jawa Timur meliputi Kota Malang Raya dan Surabaya Raya. Terakhir, di Bali meliputi Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.